Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS Terdeteksi pada Siswa SMP di Riau

13 April 2011   08:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:51 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Data kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Riau adalah 573. Dari jumlah ini yang berusia 15-24 tahun 49. Ini berarti 8,55 persen. Tapi, coba simak judul berita ini: “Astaga.. Penderita AIDS di Riau Kebanyakan Pelajar SMP” (www.republika.co.id, 13/4-2011).

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Riau, Wardan, mayoritas cara penularannya melalui heteroseksual dan Injecting Drug User (IDU). Tapi, dalam berita tidak dirinci berapa kasus dengan faktor risiko (mode of transmission) heteroseksual dan IDU pada remaja itu.

Soalnya, kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan remaja, usia 15-24 tahun, pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian karena mereka wajib menjalani tes HIV ketika hendak mengikuti program rehabilitasi. Mereka ini adalah remaja yang duduk di bangku SMP, SMA dan perguruan tinggi.

Sebaliknya, kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa, terutama laki-laki, tidak banyak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi HIV di kalangan laki-laki dewasa. Kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa tidak bisa dianggap enteng karena mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV. Ini dapat dibuktikan dengan kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.

Kasus HIV/AIDS di kalangan laki-laki dewasa kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. Selain pada diri mereka kasus pun meledak pada ibu-ibu rumah tangga, bayi dan pekerja seks komersial (PSK).

Wardan mengatakan: "Kita juga tidak tahu apa yang salah dalam hal ini. Apalagi, Riau terkenal dengan budaya Melayu-nya yang kental." Yang salah adalah perilaku berisiko orang per orang.

Bagi remaja penyalahguna narkoba mereka memakai jarum suntik secara bersama dengan bergantian. Di banyak negara sudah dijalankan program pertukaran jarum suntik. Artinya, penyalahguna narkoba dianjurkan memakai jarum baru atau yang steril agar tidak menyebarkan HIV. Tapi, program ini lagi-lagi ditentang dengan membenturkannya kepada moral dan agama.

Sedangkan bagi laki-laki dewasa mereka melakukan perilaku berisiko tertular HIV, yaitu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta perempuan pelaku kawin cerai. Di Sulawesi Selatan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).

Yang lain adalah Pemprov Riau memulangkan PSK yang terdeteksi HIV ke daerah asalnya. Ada anggapan kalau PSK yang terdeteksi HIV sudah ‘dikeluarkan’ dari Riau maka AIDS pun terbawa sudah. Ini yang menyesatkan.

Pertama, ada kemungkinan HIV pada PSK ditularkan oleh laki-laki penduduk Riau, asli atau pendatang. Nah, laki-laki ini tetap akan menjadi mata rantai penyebaran HIV biar pun PSK yang terdeteksi HIV sudah dipulangkan.

Kedua, laki-laki penduduk Riau, asli atau pendatang, yang tertular HIV dari PSK juga menjadi mata rantai penyebaran HIV biar pun PSK yang terdeteksi HIV/AIDS sudah dipulangkan.

Dua hal itulah yang luput dari perhatian Pemprov Riau. Kalau saja Pemprov Riau lebih arif tentulah sosialisasi digencarkan dengan harapan agar laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dengan PSK mau menjalani tes HIV secara sukarela.

Tidak ada kaitan langsung antara budaya, kepercayaan, agama, dll. dengan penularan HIV. Di negara-negara yang menjadikan agama dan kitab suci sebagai UUD pun tetap ada kasus HIV/AIDS. Di Arab Saudi secara de facto dan de jure tidak ada lokalisasi pelacuran, hiburan malam, panti pijat, dll. tapi sudah dilaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Ya, karena penduduknya bisa saja ada yang tertular di luar negaranya. Ketika mereka kembali ke negaranya maka mereka pun menjadi mara rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di laur nikah.

Maka, hal yang sama bisa saja terjadi di Riau. Lain halnya kalau Pemprov Riau bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Riau yang melakukan perilaku berisiko. Kalau Pemprov Riau tidak bisa menjamin maka ada risiko besar yang dihadapi Pemprov Riau yaitu penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Ini dapat dilihat dari kasus-kasus HIV yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.

Wardan mengatakan: “Mereka diantaranya masih duduk di bangku SMP. Ini sungguh memprihatinkan." Yang lebih memprihatinkan adalah penyebaran HIV yang dilakukan oleh laki-laki dewasa yang bisa dilihat pada kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga yang seterusnya pada anak-anak yang mereka lahirkan.

Salah satu faktor yang membuat banyak orang, terutama remaja, teledor sehingga tertular HIV adalah karena mereka tidak mengetahui cara-cara yang konkret untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV. Hal ini terjadi karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS tidak akurat.

Informasi HIV/AIDS dalam KIE selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga mengaburkan fakta medis HIV/AIDS dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah). Peraturan daerah (Perda) penggulangan AIDS yang sudah diterbitkan oleh Pemprov Riau dan DPRD Prov Riau pun tetap tidak bisa mengendalikan penyebaran HIV di Riau karena tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi AIDS (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/30/menyibak-peran-perda-aids-riau-dalam-penanggulangan-aids-riau/).

Selama informasi HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama maka selama itu pula cara-cara pencegahan tidak diketahui banyak orang sehingga penyebaran HIV akan terus terjadi. ***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun