Mitos adalah anggapan yang salah. Itu pulalah yang mencelakai banyak orang, terutama dari kalangan berduit, terkait dengan risiko tertular HIV/AIDS.
Sejak awal epidemi HIV/AIDS secara global dan nasional penanggulangan HIV/AIDS di negeri ini mengedepankan norma, moral dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos.
Misalnya, penularan HIV/AIDS dikaitkan dengan hubungan seskual di luar nikah. Celakanya, di luar nikah dipersempit sebagai hubungan seksual dengan pelacur (pekerja seks komersial/PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran.
Nah, itulah yang merusak pola pikir setengah orang, terutama laki-laki, yang gemar “jajan”. Mereka memilih perempuan di luar lokasi atau lokalsasi pelacuran, seperti cewek panggilan, cewek yang mangkal di hotel, ‘ayam kampus’ (julukan bagi mahasiswi yang melacur), dll.
Dalam benak mereka melakukan hubungan seksual dengan cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ tidak ada risiko tertular HIV/AIDS karena cewek-cewek itu bukan PSK.
Bisa juga disebut pelacuran yang melibatkan cewek panggilan, 'ayam kampus', dll. sebagai pelacuran kelas atas tapi tetap tidak bebas dari risiko tertular HIV/AIDS.
Tapi, mereka lupa karena perilaku seks cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ sama saja dengan PSK yaitu sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Kondisinya kian runyam karena biasanya cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ punya pacar atau pasangan tetap (di kalangan PSK di Jawa Timur disebut ‘kiwir-kiwir’). Pacar mereka itu juga sering melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini membuat pacar mereka itu menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari PSK ke cewek panggilan atau ‘ayam kampus’.
Maka, risiko cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ tertular HIV/AIDS sangat tinggi, karena:
(a) Mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondsi laki-laki tidak memakai kondom, dan
(b) Mereka melakukan hubungan seksual dengan pacar mereka dengan kondisi pacar mereka tidak memakai kondom.
Cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ tidak bisa dijangkau oleh kalangan aktivis HIV/AIDS sehingga mereka tidak mempunyai pandangan yang luas tentang upaya melindungi diri mereka agar tidak tertular HIV/AIDS dari laki-laki yang mengencani mereka.
Mitos tentang cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ yang bukan PSK kian menjadi pegangan bagi laki-laki ‘hidung belang’. Apalagi ada isu bahwa cewek panggilan mempunyai dokter pribadi.
Yang perlu diketahui adalah pemeriksaan kesehatan rutin tidak otomatis bisa mendeteksi HIV/AIDS jika tidak dilakukan tes HIV. Yang bisa dilakukan dokter pribadi cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ hanyalah sebatas memeriksa IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti GO, sifilis, klamdia, jengger ayam, virus hepatitis B, dll.).
Lagi pula pemeriksaan kesehatan atau tes HIV bukan vaksin karena setelah pemeriksaan kesehatan dan tes HIV dengan hasil negatif pun hanya bertahan sampai saat ketika tes HIV dilakukan. Soalnya, setelah tes HIV bisa saja mereka tertular HIV/AIDS ketika mereka melayani laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.
Di Manokwari, Papu Barat, misalnya, ada dikotomi PSK dengan cara membedakan tempat ‘praktek’. PSK asal Pulau Jawa dan daerah lain dipaksa praktek di lokasi pelacuran “Maruni 55” sekitar 2 jam dengan kendaraan bermotor dari Manokwari. Sedangkan ‘cewek manado’ diizinkan buka praktek di hotel di kota. “Pak, tolong beritakan ini tidak adil. Mosok kami dipaksa di sini (Maruni 55-pen) sedangkan cewek manado boleh di hotel.” Ini permintaan seorang PSK di Maruni 55 dalam satu kunjungan pelatihan wartawan di kota itu (Lihat: ‘Praktek’ Pekerja Seks Komersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’).
Cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ memasang tarif yang sangat tinggi untuk ‘short time’ (1 sampai 2 jam). RA, mahasiswi UIN Bandung, misalnya dikabarkan pasang tarif Rp 25 juta per dua jam. Jumlah ini belum termasuk sewa kamar hotel, minuman dan makanan, serta rokok.
Maka, tidak heran kalau yang banyak mem-booking (memesan) RA adalah pejabat. Ini logis karena hanya merekalah yang dengan mudah menghambur-hamburkan uang karena mudah mendapatkanya, al. melalui koruspsi atau tanda tangan.
Kota kecil seperti Kota Kendari di Sulawesi Tengara dan Kota Parepare di Sulawesi Selatan mempunyai armada taksi. Kotanya kecil, tapi taksi banyak. Ini taksi resmi memakai argometer.
“Ya, untuk atar jemput ceweklah, Pak,” kata seorang sopir taksi di Kota Kendari.
Cewek?
Ya, cewek panggilan. Tetangga cewek panggilan itu kan tidak curiga karena diantar jemput taksi.
Apakah sopir taks tsb. bisa mendapat uang sejumlah setoran yang ditentukan perusahaan?
“Bisa, Pak,” ujar sopir taksi tadi sambil menjelaskan bahwa seorang sopir taksi punya dua atau tiga cewek langganan. Jika dijemput tarifnya sekitar Rp 100.000 Ini belum termasik tips kalau si cewek dapat ‘mangsa’ yang royal. Nah, kalau semua minta dijemput tentulah setoran taksi sudah lunas karena setoran sekitar Rp 300.000 per hari (Lihat: “Selangit”, Tarif PSK di Kota Kendari, Sultra).
Di Kota Kendari tarif cewek panggilan minimal Rp 500.000 untuk short time dan umumnya dilakukan di sebuah hotel berbintang di dekat pantai. “Yang pesan banyak pejabat, Pak,” kata seorang sopir taksi yang mengaku punya tiga cewek panggilan sebagai langganan tetap. Di hotel berbintang itu memang tidak sembarang orang bisa masuk sehingga sangat tertutup.
Di beberapa daerah belakangan ini kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada kalangan berduit, mereka itu adalah pejabat, aparat, PNS, karyawan dan pengusaha karena hanya mereka yang mampu membayar cewek panggilan atau ‘ayam kampus’.
Sudah saatnya pemerintah memupus mitos ‘risiko tertular HIV/AIDS hanya dengan PSK’ karena cewek panggilan, ‘ayam kampus’, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, dll. dalam prakteknya sama persis dengan PSK yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Tampaknya, pemerintah tetap akan memakai pijakan norma, moral dan agama dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Itu artinya mitos akan tetap dikedepankan dan pada akhirnya menggelembungkan kasus HIV/AIDS sehingga kelak sampai pada ‘ledakan AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H