“ …. ada dua hal yang menyebabkan angka kasus HIV/AIDS di Tabanan terus meningkat. Pertama, kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri sehingga kasusnya bisa terdata, sedangkan kedua, jumlah penderita meningkat akibat perilaku seksual yang menyimpang.” Ini pernyataan Ketua Tim Advokasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, dr Molin Yudiasa (“Kafe Tempat Kondusif Penularan HIV”, republika.co.id, 8/5-2012).
Pernyataan di atas tidak akurat.
Pertama, tidak semua orang atau masyarakat berisiko tertular HIV sehingga tidak perlu melakukan tes HIV.
Kedua, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun banyak penderitanya yang meninggal.
Ketiga, risiko penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, ‘jajan’, ‘seks bebas’, dll.).
Istilah ‘perilaku seksual yang menyimpang’ juga merupakan jargon moral yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan penularan HIV. Kalau satu pasangan tidak mengidap HIV maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seksual dilakukan menyimpang.
Dalam berita disebutkan: “Sejumlah kafe yang tersebar di wilayah Kabupaten Tabanan, Bali menjadi tempat yang kondusif bagi penularan wabah HIV/AIDS.”
Pernyataan di atas adalah mencari ‘kambing hitam’ dan bentuk penyangkalan terhadap perilaku seksual sebagian laki-laki dewasa penduduk Tabanan.
Biar pun ada kafe kalau laki-laki dewasa penduduk Tabanan tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan ‘cewek kafe’ tentu tidak ada risiko penularan HIV. Sebalinya, biar pun di Tabanan tidak ada kafe laki-laki dewsa bisa saja melacur ke luar Tabanan atau di luar negeri.
Menurut Molin: "Kafe-kafe ini berperan ganda. Untuk menjual makanan dan minuman, atau fungsi mereka adalah tempat transaksi prostitusi. Ini sangat mengkhawatirkan."
Kalau laki-laki Tabanan tidak ‘membeli seks’ dari pelayan di kafe itu tentu tidak akan terjadi transaksi seks. Sekarang tidak perlu lagi mencari ‘kambing hitam’ terkait penyebaran HIV karena ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada pelayan kafe justru laki-laki lokal, asli atau pendatang.
Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada pelayan kafe dan yang tertular HIV dari pelayan kafe bisa sebagai suami. Nah, mereka inilah yang menyebarkan HIV secara horizontal melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Fakta ini sering digelapkan sebagai upaya menutupi perilaku laki-laki setempat.
Perilaku laki-laki Tabanan yang berisiko tertular HIV dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Dikabarkan sudah 17 bayi terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Tabanan.
Molin meminta pemerintah daerah setempat turut mengawasi keberadaan kafe-kafe agar tidak menyimpang dari fungsinya.
Mengapa bukan laki-laki Tabanan yang diminta agar tidak melacur?
Selama yang terjadi hanya penyangkalan dan mencari ‘kambing hitam’, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi di Tabanan. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H