”Tingginya kasus HIV/AIDS membuat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Tabanan miris. Data terbaru, dari 250 ibu hamil, 1,2 persen ditemukan positif HIV/AIDS. Akibatnya, sejumlah bayi tertular penyakit mematikan itu sejak lahir. Tak ingin kasus serupa makin meluas, seluruh tenaga bidan diminta siaga. Mereka wajib merujuk ibu hamil ke klinik VCT jika ditemukan terjangkit HIV/AIDS.” Ini lead di beita ”Kasus Meningkat, Bidan Diminta Siaga HIV/AIDS” (www.balipost.co.id, 23/5-2012).
Yang membuat miris bukan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu hamil, tapi perilaku suami-suami yang menularkan HIV kepada istrinya. Celakanya, KPA Kab Tabanan, Bali, tidak mempunyai program yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari suami ke istri.
Disebutkan akibat dari ibu yang mengidap HIV/AIDS ’sejumlah bayi tertular penyakit mematikan itu sejak lahir’. Pernyataan ini tidak akurat karena penularan HIV pada bayi dari ibu yang mengidap HIV terjadi di dalam kandungan, saat persalinan atau ketika menyusui dengan air susu ibu (ASI). HIV/AIDS bukan penyakit mematikan.
Disebutkan: ”Tak ingin kasus serupa makin meluas, seluruh tenaga bidan diminta siaga.”
Kalau yang dimaksud dengan ’kasus serupa’ adalah HIV/AIDS pada ibu hamil, maka bidan sama sekali tidak bisa mencegah penularan HIV dari suami kepada ibu-ibu hamil itu.
Celakanya, Pemkab Tabanan tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual, terutama dengan pekerja seks.
Jika yang dimaksud dengan ’kasus serupa’ adalah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, maka dipertanyakan: Apakah ada program konkret yang dilakukan Pemkab Tabanan untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil? Tentu saja tidak ada.
Disebutkan pula: ”Mereka (maksudnya bidan-pen.) wajib merujuk ibu hamil ke klinik VCT jika ditemukan terjangkit HIV/AIDS.”
Pernyataan di atas membingungkan. Ada kesan bidan di Tabanan sudah bisa mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil. Lagi pula kalau bidan sudah bisa mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil, untuk apa lagi dirujuk ke klinik VCT?
Menurut Wakil Bupati (Wabup) Tabanan, Komang Gede Sanjaya: “Peran bidan sangat menentukan keberhasilan lahirnya bayi tanpa risiko, terutama yang sudah terjangkit HIV/AIDS.”
Bagaimana seorang bidan mengetahui ibu hamil yang ditanganinya mengidap HIV/AIDS?
Bagaimana peranan bidan dalam mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya?
Yang diperlukan bukan peranan bidan, tapi regulasi berupa intervensi yang konkret yaitu perempuan hamil wajib tes HIV.
Data KPA Provinsi Bali menunjukkan pada tahun 2011 kalangan ibu rumah tangga menempati peringkat pertama penderita HIV/AIDS. Sedangkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Tabanan sampai Februari 2012 mencapai 362 dengan 29 kematian.
Data ini tidak dikembangkan oleh wartawan sehingga tidak bermakna bagi masyarakat. Data itu menunjukkan banyak suami (laki-laki) di Bali yang berperilaku seksual yang berisiko tertular HIV, misalnya sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks. Realitas ini selalu ditutup-tutupi karena dikesankan di Bali tidak ada pekerja seks karena tidak ada lokalisasi pelacuran.
Menurut Wabup, kondisi ini akibat penularan dari kalangan suami. Kebanyakan, profesinya adalah sopir, buruh kasar, petani dan wiraswasta.
Akan lebih arif kalau wakil bupati merinci pekerjaan suami dari perempuan-perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Apakah di atara ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS itu tidak ada istri PNS, aparat keamanan atau wartawan? Ada kemungkinan istri pejabat dan pengusaha yang hamil ditangani oleh dokter pribadi sehingga data tentang status HIV/AIDS tidak dilaporkan.
Wabup menambahkan, jajaran bidan wajib memiliki keterampilan dalam mendeteksi kasus HIV/AIDS pada ibu hamil. Sehingga, mampu memberikan konseling dasar, termasuk membawa ibu hamil yang berisiko ke klinik VCT.
Mendeteksi HIV tentulah dengan tes HIV seperti yang ada di klinik VCT. Apakah bidan di Tabanan sudah dipersiapkan untuk menjalankan klinik VCT?
Disebutkan pula oleh wakil bupati: “Semua bidan harus mampu mendeteksi sejak dini, lalu dirujuk ke klinik VCT.”
Pertanyaannya adalah: Bagaimana cara bidan mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?
Dikabarkan di Tabanan ada Kader Desa Peduli AIDS (KDPA). Kader ini akan bertugas memberikan pendampingan jika ada warga yang positif HIV/AIDS, bahkan hingga korban meninggal ikut mengurusnya.
Kader itu bekerja di hilir. Artinya, ditunggu dulu ada penduduk Tabanan yang tertular HIV baru ditangani kader.
Yang menjadi persoalan besar adalah tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden penyebaran HIV di masyarakat. Semua program bekerja di hilir, sedangkan di hulu terus terjadi penularan HIV, seperti pada laki-laki ’hidung belang’ dan dari suami ke istri.
Selama tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, maka penyebaran HIV di Tabanan akan terus terjadi. Jumlah ibu rumah tangga yang tertularHIV akan terus bertambah yang akan bermuara pada jumlah bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H