Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS di Sulawesi Barat Menyebar Melalui ‘Praktik Seks Bebas di Tempat-tempat Hiburan Malam’

16 Agustus 2011   23:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:43 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Perilaku seks bebas di sejumlah kota/kabupaten di Sulawesi Barat menjadi penyumbang terbesar banyaknya korban virus HIV/AIDS di wilayah itu.” Itulah lead pada beritaSeks Bebas, 85 Kasus HIV/AIDS di Sulbar” (kompas.com, 16/8-2011).

Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman wartawan yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis. Kalau pernyataan itu merupakan kesimpulan dari wawancara, maka narasumber yang diwawancarai wartawan pun posisinya sama persis dengan wartawan: sama-sama tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Data dari Dinas Kesehatan Sulawesi Barat menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS sejak 2010 sampai Februari 2011 terdeteksi 85. Kasus terbanyak terdeteksi di Mamuju yaitu 68. Sayang, tidak disebutkan rinciannya yaitu jumah kasus HIV, AIDS. Kematian disebutkan enam.

Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), maka ada beberapa hal yang luput dari perhatian. Di Sulbar sendiri dikabarkan ada PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/01/aids-di-kalangan-psk-di-kota-mamuju-sulawesi-barat/).

Pertama, tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual), kalau salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).

Kedua, ada kemungkinan kasus HIV pada PSK justru ditularkan oleh penduduk lokal, asli atau pendatang. Jika ini yang terjadi, maka di masyarakat ada laki-laki dewasa yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Laki-laki tsb. bisa saja sebagai seorang suami. Penyebaran HIV melalui laki-laki tsb. bisa dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga.

Ketiga, bisa juga terjadi PSK yang ’praktek’ di Sulbar sudah mengidap HIV ketika tiba di Sulbar. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki ’hidung belang’ yang kencan dengan PSK tanpa memakai kondom berisiko tertular HIV.

Laki-laki yang menularkanHIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Semua terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak menunjukkan tanda-tanda yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Staf Bidang Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, Ririn Handayani, mengatakan: ” .... praktik seks bebas di tempat-tempat hiburan malam menjadi penyumbang terbesar penyebaran HIV/AIDS di wilayah ini....”

Lagi-lagi pernyataan ini mengandung mitos (anggapan yang salah). Yang mendorong penyebaran HIV bukan karena ’praktik seks bebas’, tapi karena laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak memakai kondom.

Karena sudah ada bukti bahwa penyebaran HIV di Sulbar terjadi karena hubungan seksual yang tidak memakai kondom dengan PSK di tempat hiburan malam, maka intervensi yang harus dilakukan Pemprov Sulbar adalah program ’wajib kondom’ bagi laki-laki ’hidung belang’ di tempat-tempat hiburan malam tsb.

Sayang, yang dijalankan oleh Dinkes Sulbar, yang mereka sebut sebagai program nyata, untuk menekan angka penyebaran virus mematikan itu adalah dengan menggelar pemeriksaan kesehatan bagi PSK.

Pemeriksaan kesehatan tidak otomatis bisa mendeteksi HIV pada PSK. Selain itu penularan HIV dari laki-laki ’hidung belang’ ke PSK dan sebaliknya bisa terjadi setiap saat. Maka, pemeriksaan kesehatan terhadap PSK pun harus dilakukan tiap saat. Tentu ini tidak mungkin karena berbagai alasan, misalnya, mobilitas PSK yang sangat tinggi sehingga PSK di tempat hiburan malam itu silih berganti, sebelum kesehatan PSK diperiksa dia sudah menularkan HIV kepada laki-laki ’hidung belang’.

Jika langkah Pemprov Sulbar untuk memutus mata rantai penyebaran HIV tidak dilakukan dengan cara yang konkret, maka selam it pula penyebaran HIV di Sulbar akan terus terjadi.

Pemprov Sulbar tinggal menunggu ’panen AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan kasus AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun