Berita HIV/AIDS terkait dengan angka yaitu jumlah kasus sering tidak komprehensif sehingga menimbulkan penafsiaran yang salah. Misalnya, pernyataan Kepala Biro Napza HIV/AIDS Sulsel, Dr Dwi Joko Purnomo, ini: " .... terjadi kenaikan 123 kasus hanya dalam kurun waktu empat bulan terakhir." (Empat Bulan, 123 Kasus HIV/AIDS, www.fajar.co.id, 29/4-2011). Pernyataan itu mengesankan 123 kasus terjadi pada kurun waktu empat bulan terakhir. Padahal, yang tepat adalah 'dalam empat bulan terkahir terdeteksi 123 kasus HIV/AIDS'. Yang terdeteksi belum mencapai masa AIDS, yaitu belum ada gejala-gejala penyakit terkait AIDS, seperti diare, sariawan, jaum, TB, dll. maka mereka tertular HIV di bawah lima tahun. Dalam epidemi HIV secara statistik masa AIDS terjadi antara 5 - 15 tahun setelah tertular HIV. Maka, yang terdeteksi HIV pada masa AIDS di kurun waktu empat bulan terakhir mereka sudah tertular HIV antara tahun 1996 dan 2006. Data terakhir kasus kumulatif yang tercatat di Pemprov Sulsel sebanyak 3.904. Jumlah kumulatif dari 2004 hingga 2010 sebanyak 3.781 kasus. Dari jumlah tersebut 65,82 persen terdeteksi pada laki-laki dan 34,18 persen pada perempuan. Ini menggambarkan mata rantai penyebaran HIVdi Sulsel sangat besar karena banyak laki-laki yang mengidap HIV. Mereka menularkan HIV kepada istri, pasangan seks lain, atau pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/). Disebutkan oleh Dwi Joko: "Saat ini Sulsel digolongkan sebagai daerah dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic), yaitu adanya prevalensi lebih dari 2 persen pada sub populasi tertentu misalnya pada kelompok penjaja seks dan pada para penyalahguna NAPZA." Ada fakta yang luput dari pernyataan ini yaitu konsentrasi HIV pada laki-laki 'hidung belang'. Soalnya, yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki 'hidung belang', ada ada pula laki-laki lain yang tertular HIV dari PSK. Penyebutan epidemi terkonsentrasi tidak akurat karena tidak ada pembandingnya. Salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV di kalangan laki-laki 'hidung belang' ke PSK dan dari PSK adalah tidak ada lokalisasi atau lokasi pelacuran di Makassar. PSK hanya mangkal disekitar 'jalan vagina raya' (jalan di sisi pelabuhan Soekarno-Hatta) sehingga mereka tidak bisa dipantau untuk menerapkan program pemakaian kondom. Celakanya, Perda AIDS Prov Sulsel pun tidak menyentuh akar persoalan sehingga perda itu hanya pengisi rak buku (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/22/menyibak-peran-perda-aids-sulawesi-selatan/). Penggunaan kata NAPZA juga sudah lama ditinggalkan karena tidak semua zat adiktif termasuk narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Yang dipakai sekarang adalah narkoba. WHO (Badan Kesehatan Sedunia-PBB) juga memakai istilah substance abuse karena yang disalahgunakan bukan obat tapi zat yang terdapat dalam obat yang menandung narkoba. Dikabarkan pula untuk menekan laju penyebaran HIVyang tinggi di Sulsel, maka Pemprov Sulsel membangun rumah sakit sebagai pusat rehabilitasi korban narkoba dan HIV/AIDS di Baddoka, Kec Biringkanaya dengan biaya sebesar Rp50 miliar. Langkah itu merupakan penanggulangan di hilir. Artinya, menunggu penduduk tertular HIV dulu baru dideteksi kemudian diobati. Bisa saja terjadi yang terdeteksi 1, tapi yang tertular pada rentang waktu yang sama lebih dari 1. Selama tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu, maka penyebaran HIVakan terus terjadi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi jelas tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (puncak gunung es yang menyembul di atas permukaan air laut) adalah bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan es di bawah permuakan air laut). (Lihat Gambar 1). Gambar 1. Fenomena Gunung Es pada Epidemi HIV Salah satu faktor risiko (mode of transmission) penyebaran HIV adalah melalui hubungan seksual. Maka, diperlukan program yang bisa menekan insiden penularan HIV baru melalui hubungan seksual, terutama antara laki-laki 'hidung belang' dengan PSK di wilayah Sulsel atau di luar wilayah Sulsel. Kalau saja Pemprov Sulsel melirik Thailand yang berhasil menekan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui program 'wajib kondom 100 persen' di lokalisasi atau lokasi pelacuran tentulah kasus baru HIV di Sulsel bisa ditekan. Tapi, karena banyak daerah, termasuk Sulsel, menganggap kalau tidak ada lokalisasi pelacuran maka daerah itu bebas maksiat maka lokalisasi pelacuran pun ditutup. Ketika lokalisasi pelacuan ditutup: Apakah ada jaminan tidak ada lagi laki-laki dewasa penduduk Sulsel, asli dan pendatang, yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Sulsel atau di luar Sulsel? Kalau jawabannya ADA, maka tidak ada masalah penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual di Sulsel. Pemprov Sulsel melalui KPAP Sulsel dan Dinas Kesehatan Sulsel tinggal menangani penyebaran HIV melalui jarum suntik pada pengguna narkoba. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemprov Sulsel yaitu penyebaran HIV melalui hubungan seksual. Dalam kaitan ini Pemprov Sulsel bisa melakukan intervensi dalam tiga tahap. Pada gambar ditunjukkan dengan garis panah putus-putus (Lihat Gambar 2).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H