Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS di Prov Kalimantan Timur: Penanggulangan Epidemi di Hilir

17 April 2011   21:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:42 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penanggulangan HIV/AIDS hanya bertumpu pada jumlah kasus yang terdeteksi. Ada kesan kasus-kasus yang terdeteksi merupakan peningkatan pada waktu yang sama. Padahal, kasus-kasus yang terdeteksi, apalagi di masa AIDS, adalah insiden infeksi jauh hari sebelum terdeteksi.

Maka, tidak mengeherankan kalau kemudian banyak daerah yang kalang kabut menghadapi pertambahan kasus. Jumlah kasus yang disebut meningkat merupakan pertambahan kasus karena pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya.

Salah satu reaksi yang muncul di Indonesia adalah menerbitkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS. Sudah 44 daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang menerbitkan perda. Tapi, hasilnya nol besar karena tidak ada pasal-pasal yang konkret untuk menanggungali epidemi HIV.

Pemprov Kalimantan Timur (Kaltim) dan Pemkot Tarakan, misalnya, sudah menerbitkan Perda penanggulangan AIDS. Pemprov Kaltim melalui Perda No 5/2007 tanggal 22/10/2007 dan Pemkot Tarakan melalui Perda No 6/2007 tanggal 12/11/2007.

Tapi, karena tidak manawarkan penanggulangan yang konkret maka perda itu tidak membumi (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/26/sepak-terjang-perda-aids-prov-kalimantan-timur/, dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/27/jangan-hanya-sekadar-menjiplak-thailand/).

Wagub Kaltim, H Farid Wadjdy, yang juga ketua Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Kaltim, ini menyebut, ada tiga indikator yang harus dilakukan dalam penanggulangan HIV/AIDS. Antara lain membekali anak usia remaja (15-25 tahun) tentang pengetahuan HIV secara komprehensif, mengupayakan pencegahan bersama, dan mengimbau masyarakat pakai alat kontrasepsi atau kondom saat berhubungan seks yang beresiko (KPAP Rumuskan Langkah Bersama Tanggulangi HIV/AIDS, diskominfo.kaltimprov.go.id, 8/4-2011).

Dikabarkan: “Pertemuan ini sebagai bentuk komitmen KPAP menghindari terjadinya peningkatan penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS di Kaltim.” Persoalannya, tidak ada perangkat hukum yang menukik ke akar masalah penularan HIV (di hulu). Yang ada hanya penanganan orang-orang yang sudah tertular HIV (di hilir).

Bertolak dari pengalaman Thailand dalam menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa adalah program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Ini bisa berhasil karena bisa dipantau dengan konkret. Germo atau mucikari yang mengelola lokalisasi atau rumah bordir memegang izin usaha. Secara berkala PSK dites IMS (infeksi menular seksual) adalah penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.).

Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan PSK itu meladeni laki-laki ‘hidung belang’ tanpa kondom. Germo diberikan peringatan sampai pencabutan izin usaha. Maka, kuncinya adalah menata lokalisasi pelacuran. Sebagai konsekuensinya tidak ada kegiatan hiburan dengan tawaran hubungan seksual di luar lokalisasi.

Persoalannya adalah: Apakah Pemprov Kaltim mau menata lokalisasi pelacuran dengan memberikan izin usaha kepada germo atau mucikari?

Kalau langkah yang diambil adalah menutup semua lokalisasi di Kaltim, maka yang terjadi adalah penyebaran HIV yang tidak bisa dikontrol.

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kaltim 1993-2011 mencapai 1.905 yang terdiri atas 1.410 HIV, 495 AIDS dengan 131 kematian.

Dikabarkan sebagaian besar penderita masih enggan mengakui penyakitnya karena takut dikucilkan masyarakat. Menurut Sekertaris KPAP Kaltim, Jurnanto "Saat ini banyak kasus HIV yang masih belum terdeteksi karena kebanyakan mereka malu mengakui.”

Pernyataan Sekretaris KPAP Kaltim ini tidak akurat karena fakta menunjukkan banyak orang yang sudah mengidap HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Mereka bulan malu atau enggan, tapi mereka tidak tahu kalu mereka sudah tertular HIV.

Hal itu terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV) . Itulah sebabnya banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada masa AIDS. Artinya, selama kurun waktu antara 5 – 15 tahun mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.

Jika kegiatan yang dilakukan KPAP Kaltim hanya mencari kasus HIV/AIDS itu artinya penanggulangan di hilir. Menunggu penduduk tertular dahulu baru ditangani. Maka, selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi (di hulu). ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun