Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS di Papua: Lagi-lagi Menyangkal Perilaku Seks Laki-laki Lokal

21 April 2011   01:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:35 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyangkalan terkait dengan penyebaran HIV terus terjadi di Indonesia. Padahal, di banyak negara masyarakatnya tidak lagi menyangkal tapi menerapkan cara-cara yang konkret mencegah penularan HIV. Maka, tidak mengherankan kalau di banyak negara grafik insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa, khususnya melalui hubungan seksual, sudah mulai mendatar.

Begitu pula dengan di Papua. Coba simak pernyataan ini: “ …. berani membuat kebijakan yang mengkawal ketat setiap pendatang yang masuk ke Papua dengan surat keterangan kesehatan yang jelas dari tempat asalnya. Karena dengan demikian mereka yang sudah terinveksi bisa diatasi dan tidak lagi ada penambahan.” (Penanggulangan HIV/AIDS di Papua Tidak Efektif, tabloidjubi.com, 12/4-2011).

Pernyataan itu disampaikan oleh Adolof Rumkabu, mantan tenaga medis (mantra) di zaman Belanda, yang dulu bekerja di RS Dok II, Jayapura, Papua. Rupanya, Adolof lupa atau melupakan mobilitas penduduk asli Papua. Di kawasan pelacuran Tanah Abang, Jakarta Pusat, pernah terjadi kematian dua laki-laki penduduk Papua. Ini menunjukkan laki-laki Papua juga melakukan perilaku berisiko di luar Papua.

Adolof melihat realitas sosial terkait dengan ‘paha putih’ atau ‘mama ade’ (penyebutan penduduk asli terhadap pekerja seks komersial/PSK di Papua) yang banyak berasal dari luar Papua. Tapi, Adolof lupa bahwa secara sosiologis PSK dari daerah ‘X’ akan berporasi di daerah ‘Y’. Begitu seterusnya sehingga jarang ditemukan PSK asal dareah ‘X’ praktek di daerahnya sendiri.

Menurut Adolof, mengawasi PSK pendatang berdasarkan surat keterangan kesehatan yang harus mereka bawa merupakan lagnkah yang revolusioner. Ini menyesatkan karena biar pun tidak ada (lagi) PSK asal luar Papua di Papua tapi laki-laki asli Papua yang sudah mengidap HIV tapi belum terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Selain itu laki-laki asli Papua pun bisa saja tertular HIV di luar Papua (Lihat Gambar 1).

[caption id="attachment_102932" align="aligncenter" width="417" caption="Mata Rantai Penyebaran HIV melalui Laki-laki Asli Papua"][/caption] Terkait dengan surat keterangan kesehatan biar pun ada hasil tes HIV tidak akan bermanfaat karena surat keterangan dan tes HIV bukan vaksin. Selain itu tes HIV juga mengenal masa jendela. Bisa saja PSK yang akan beroperasi di Papua menjalani tes HIV di daerah asalnya pada masa jendela sehingga hasilnya negatif,. Tapi, ini bisa saja negatif palsu. Artinya, HIV sudah ada di dalam darahnya tapi tidak terdeteksi karena belum ada antiboby HIV. Seperti diketahui beberapa reagent untuk tes HIV, seperti ELISA, hanya mendeteksi antibody HIV bukan virus (HIV). (Lihat Gambar 2).

[caption id="attachment_102933" align="aligncenter" width="417" caption="Masa Jendela pada Epidemi HIV"][/caption]

Memang, ada semacam sentimen etnis di Papua terkait dengan asal PSK yang banyak berporasi di Papua. Tapi, semua terpulang kepada penduduk asli Papua. Kalau sudah tahun bahwa ‘paha putih’ dan ‘mama ade’ membawa HIV/AIDS, mengapa tetap melakukan ‘cuci busi’ (istilah hubungan seksual dengan PSK di Papua) dengan mereka?

Kalau saja Pemprov Papua mau melihat langkah konkret yang dilakukan Thailand untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir tentulah penyebaran HIV di Papua bisa ditanggulangi. Thailand menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual di lokalisasi dengan pemantauan yang komprehensif.

Celakanya, di Papua penerapan program itu melalui beberapa peraturan daerah (Perda) AIDS tidak konkret. Bahkan, ranperda AIDS Prov Papua lokalisasi ‘dihilangkan’ sehingga program tidak akan efektif (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/09/membedah-pasal-pasal-dalam-ranperda-hivaids-prov-papua-1/ dan http://regional.kompasiana.com/2011/04/11/menyibak-pasal-pasal-dalam-ranperda-hivaids-prov-papua-2/).

Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan Pemprov Papua adalah mengintervensi langsung (dalam gambar ditunjukkan oleh garis panah putus-putus) ke masyarakat melalui kewajiban memakai kondom, yaitu:

Pertama, setiap laki-laki dewasa penduduk asli Papua wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di luar Papua.

Kedua, setiap laki-laki dewasa penduduk asli Papua wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Papua.

Ketiga, setiap laki-laki dewasa penduduk asli Papua yang pernah melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung di Papua atau di luar Papua wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan istrinya.

Keempat, menerapkan survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil.

Kelima, menerapkan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bagi perempuan hamil.

Langkah kedua bisa dilakukan di lokalisasi atau lokasi pelacuran yang dikenal sebagai program ‘wajib kondom 100 persen’. Celakanya, program ini tidak dijalankan dengan konsekuen dan konsisten di Papua. Bahkan, perda-perda AIDS yang ada sama sekali tidak menyentuh aspek ini.

Sentimen terhadap PSK sudah dilakukan oleh KPA Kab Merauke, Papua. Sudah beberapa PSK yang dipenjara. Mereka dihukum karena meladeni laki-laki tanpa kondom. Tapi, KPA Merauke lupa kalau laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertular HIV dari PSK tetap menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Program kondom berhasil di Thailand karena yang diberikan sanksi adalah germo. Ini sangan beralasan karena posisi tawar PSK yang sangat rendah ketika berhadap dengan laki-laki ‘hidung belang’. Jika PSK menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom maka laki-laki itu memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya.

Selama Papua tetap menyangkal andil laki-laki asli Papua dalam penyebaran HIV, maka selama itu pula laki-laki asli Papua akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah.

Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami mereka mengidap HIV. Bisa saja suami-suami itu tertular di luar Papua atau di Papua.

Pilihan ada di tangan Pemprov Papua: tetap menyangkal dan menyalahkan PSK pendatang dengan risiko penularan HIV terus terjadi atau menerapkan program-program penanggulangan yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru. ***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun