Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS 7.319 yang terdiri atas 3.378 HIV dan 3.941 AIDS (kondisi per 31/3-2011) di Prov Papua tidak membuat pemerintah provinsi itu menjalankan langkah-langkah yang konkret. Kegiatan penanggulangan lebih banyak pada wacana, misalnya membuat peraturan daerah (Perda) yang mereka sebut sebagai pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV dan AIDS. Celakanya, perda-perda itu sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.
Untuk menanggulangi HIV/AIDS di Papua, sebuah lembaga donor, Unicef, melatih 48 guru SD hingga SMA/SMK di Provinsi Papua telah dilatih serta disiapkan sebaga tenaga master of trainer pendidikan pencegahan HIV/AIDS di sekolah (HIV/AIDS Mewabah, Guru-Guru di Papua Dilatih Cara Pencegahannya, www.republika.co.id, 13/7-2011).
Apa pun langkah yang dilakukan selama tidak menyentuh akar persoalan maka hasilnya tetap akan nihil. Penyebaran HIV di Tanah Papua banyak terjadi karena pemahaman tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang sangat rendah. Kondisi ini diperparah dengan pidato, ceramah dan khutbah berbagai kalangan mulai dari pejabat (bupati dan gubernur) sampai pemuka agama (pendeta) yang selalu mengaitkan HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS pun tidak sampai ke masyarakat.
Lihat saja pernyataan Asisten II Bidang Aparatur Setda Provinsi Papua Drs Hendrik P. Kaisepo, MM, ini: “ …. kita semua, seluruh masyarakat Papua harus mengikuti seruan pak Gubernur untuk bertobat total.” (www.infopapua.com, 26/02/2007). Pernyataan ini mengesankan penyebaran HIV di Papua karena dosa. Ini justru menyuburkan stigma (pemberian cap buruk) terhadap orang-orang yang mengidap HIV.
Begitu pula dengan Bupati Yahukimo, Ones Pahabol, SE, MM, yang mengatakan: No HIV/AIDS, No Kondom. “Saya ingin mengingatkan, jaga diri masing-masing daripenyakit yang merupakan kiriman dari Tuhan ini, penyakit kutukan Tuhan ini. Sebab, sekali kena, ya tetap akan kena selama-lamanya (Cenderawasih Pos, 7/12-2007).
Jika langkah penanggulangan tetap mengabaikan fakta medis, maka selama itu pula penyebaran HIV di Papua akan terus terjadi. Tradisi bertukar pasangan di beberapa komunitas menjadi jembatan penyebaran HIV. Tradisi itu tidak bisa dihilangkan karena merupakan perwujudan budaya sehingga yang diperlukan adalah pemahaman agar tidak terjadi penyebaran HIV (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/26/menyelamatkan-suku-suku-tanah-papua-dari-ancaman-aids/).
Otoritas Program HIV/AIDS Unicef Papua, Mery Weyai, mengatakan: "Melalui dukungan guru TOT (training of trainer), pencegahan HIV/AIDS bisa diajarkan kepada guru lain di berbagai jenjang pendidikan."
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah materi HIV/AIDS yang diberikan kepada guru-guru itu akurat dan konkret?
Kalau materi HIV/AIDS yang diberikan kepada 48 guru dari empat kabupaten itu tetap dibalut dengan norma, moral dan agama maka selama itu pula mereka tidak akan bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Penyebaran HIV di Papua didorong oleh hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, maka yang diperlukan adalah penjelasan yang konkret tentang cara-cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual.
Ada kesan pemerintah daerah di Papua, Pemkab dan Pemprov, mengagaikan praktek-praktek pelacuran di Papua. Ini awal dari malapetaka karena aktivitias seksual tidak menerapkan seks aman (laki-laki wajib memakai kondom). Akibatnya, laki-laki dewasa yang menjadi pelanggana pekerja seks komersial (PSK) berisiko tertular HIV.
Begitu pula dengan laki-laki dewasa Papua yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di luar Papua berisiko tinggi tertular HIV jika tidak memakai kondom. Jika mereka pulang ke Papua maka laki-laki yang tertular HIV, di Papua atau di luar Papua, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, tertuama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, serta pada tradisi berganti-ganti pasangan.
Selama penanggulangan, termasuk materi yang diberikan kepada guru-guru tsb., tidak mengedepankan cara-cara yang konkret dan realistis maka penyebaran HIV di Papua tidak akan pernah berhenti. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI