Agaknya, kita tidak pernah belajar dari pengalaman (buruk) bangsa atau negara lain. Lihatlah yang terjadi di NTT ini. Disebutkan: “Perhatian pemerintah daerah terhadap persoalan HIV atau AIDS di Nusa Tenggara Timur (NTT-pen.) sangat rendah. Penyebaran virus HIV atau AIDS bergerak sangat cepat sementara upaya pencegahan sangat lamban bahkan tidak ada. Sampai Mei 2011, kasus HIV atau AIDS di daerah itu mencapai 1.405 kasus, naik 105 kasus dibanding Desember 2010.” (Rendah, Perhatian Pejabat Daerah terhadap HIV, kompas.com, 18/7-2011).
Ketika Thailand diingatkan oleh kalangan ahli epidemilogi tentang risiko penyebaran HIV di negeri itu di awal tahun 1990-an, pemerintah di sana menampiknya. Mereka mengatakan bawah HIV/AIDS tidak akan menyebar di Thailand. Tapi, apa yang terjadi kemudian?
Satu dekade setelah peringatan itu kasus HIV/AIDS di Negeri Gajah Putih itu mendekati angka 1.000.000. Pasien-pasien dengan keluhan penyakit terkait AIDS tidak tertampung di rumah sakit. Untunglah ada bhiksu yang menyingsingkan lengan baju merawat pasein-pasien AIDS itu di vihara. Upaya ini menghasilkan hadiah Magsaysay.
Pertanyaan kemudian adalah: Apakah rumah-rumah ibadah di NTT khususnya dan di Indonesia umumnya akan mengikuti langkah bhiksu di Thailand itu? Jawabannya: Wallohuaqlam …..
Maka, akan lebih baik dari sekarang digencarkan upaya penanggulangan yang kokret. Perda AIDS Prov NTT dan Perda AIDS Kab Timor Tengah Selatan tidak bisa diandalkan karena tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/22/mengukur-peran-perda-penanggulangan-aids-ntt/, dan http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/29/perda-aids-kab-tts-ntt-tidak-ada-cara-pencegahan-yang-konkret/).
Dikabarkan alokasi dana penanggulanganAIDS melalui KPA Prov NTT hanya Rp 200 juta. Dengan 1.405 kasus kumulatif HIV/AIDS kelak Pemprov NTT harus mengeluakan dana miliaan rupiah untuk membeli obat antiretroviral (ARV) dan perawatan odha (orang dengan HIV/AIDS) di masa AIDS. Sekarang masih ada dana dari donor asing untuk membeli ARV sehingga Pemprov NTT bisa bernapas lega. Tapi, kalau donor hengkang maka dana APBD akan disedot untuk penanggulangan AIDS.
Sekretaris Harian KPA Prov NTT, dr Husen Pankratius, mengatakan: ” .... epidemik HIV atau AIDS di NTT sangat mengkhawatirkan. Tidak ada lagi desa atau kecamatan di NTT yang dinyatakan bebas HIV.”
Yang mengkhawatirkan bukan karena HIV/AIDS sudah terdeteksi di seluruh wilayah NTT, tapi karena penyebaran terus terjadi tanpa ada langkah-langkah konkret untuk membendung penyebaran HIV di NTT terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Disebukan pula oleh Husen: "Ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya berada di rumah saja, sudah 263 orang terinveksi virus itu, dan anak-anak usia 0-5 tahun sebanyak 44 kasus. Ini kelompok usia yang menurut akal sehat sangat mustahil tertular virus HI V, tetapi fakta di lapangan sudah sangat mengkhawatirkan."
Lagi-lagi yang mengkhawatirkan adalah suami dari ibu-ibu rumah tangga itu karena mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Yang beristri lebih dari satu tentu akan menambah jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV. Dengan 263 ibu rumah tangga terdeteksi HIV, maka ada 263 laki-laki yang juga mengidap HIV. Berarti sudah ada 526 penduduk NTT yang mengidap HIV.Celakanya, suami ibu-ibu rumah tangga itu tidak dijangkau sehingga mereka terus-menerus menularkan HIV.
Pernyataan yang menyebutkan usia 0-5 tahun mustahil tertular HIV menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap penularan HIV. Selain terular ketika di kandungan ibu yang mengidap HIV, anak-anak juga bisa tertular HIV pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI) dari ibu yang mengidap HIV. Bisa juga terjadi melalui alat-alat kesehatan dan transfusi darah.
Disebutkan dari 1.405 kasus kumulatif HIV/AIDS 93 persen faktor risiko (mode of transmission) adalah melalui heteroseksual ....” Yang memprihatikan adalah fakta ini tidak disimak sebagai realitas sosial. Artinya, penularan ini melibatkan laki-laki ’hidung belang’ dan perempuan dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, yaitu:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah NTT, di luar wilayah NTT dan di luar negeri.
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah NTT, di luar wilayah NTT dan di luar negeri.
Nah, langkah konkret yang harus dijalankan Pemprov NTT adalah memutus mata rantai penyebaran HIV melalui perilaku (a) dan (b). Celakanya, di NTT pelacuran tidak diregulasi dalam bentuk lokalisasi sehingga tidak bisa diterapkan program ’wajib kondom 100 persen’ seperti di Thailand yang sudah terbukti menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Menurut Husen: “ …. kasus HIV atau AIDS di NTT terus merajalela, terkait perilaku seks bebas masyarakat. Dorongan kesulitan ekonomi keluarga sebagai salah satu penyebab.” Pernyataan ini memunculkan dua hal yang bertolak belakang dan dua hal yang saling mendukung.
Pertama, kalau’seks bebas’ diartikan sebagai melacur, maka tentulah laki-laki yang melacur harus mempunyai uang. Itu artinya mereka tidak menghadapi kesulitan ekonomi.
Kedua, terkesan perempuan pelaku ‘seks bebas’ adalah penduduk lokal sebagai pekerja seks untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Ternyata hampir 80 persen PSK di Kota Kupang adalah perempuan lokal dari berbagai daerah sekitar Kupang.
Tapi, kalau yang terjadi adalah kondisi yang kedua tentulah laki-laki yang ‘membeli’ seks dari perempuan lokal itu juga penduduk lokal.
Disebutkan: “Kupang sebagai kota pusat persinggahan warga dari berbagai suku. Pergaulan bebas yang beresiko, akan berdampak juga terhadap penyebaran HIV ke desa-desa terpencil di NTT.” Ya, inilah salah satu bentuk informasi yang tidak akurat. Tidak ada kaitan lansung antara fungsi sebuah kota dengan penularan HIV karena risiko tertular HIV tergantung pada perilaku orang per orang di mana saja.
Dikabarkan pula ada sorotan terhadapa pers yang tidak paham mengenai persoalan HIV atau AIDS sehingga sering salah kaprah dalam memilih kata yang tepat dalam pemberitaan. Tapi, tunggu dulu karena tidak sedikit pula narasumber yang juga memberikan keterangan yang tidak akurat. Seperti yang disampiakan Husen jelas tidak komprehensif sebagai fakta medis terkait HIV/AIDS.
Kita hanya menunggu dan akan dicatat sebagai sejarah bagaimana kelak Pemprov NTT mengatasi kasus-kasus HIV/AIDS ketika terjadi ledakan seperti di Thailand. Kondisi itu bisa terjadi kalau sejak sekarang tidak ada langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H