Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

AIDS di Mimika, Papua, Mengabaikan Perilaku Seksual Penduduk Lokal

18 Oktober 2010   02:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:21 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Seluruh Distrik di Mimika Tertular AIDS.” Ini judul berita di TEMPO Interaktif (15/10-2010). Disebutkan: “Seluruh distrik (12 distrik) di Kabupaten Mimika, Papua, sudah tertular HIV/AIDS. Bahkan kampung terpencil seperti Hoeya, Distrik Jila, penduduknya sudah tertular virus yang mematikan itu.”

Di saat informasi yang akurat tentang HIV dan AIDS tetap saja ada yang tidak memahaminya secara komprehensif. Buktinya, dalam berita ini disebutkan ‘virus yang mematikan’. Yang menyebabakan kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) bukan virus (HIV) atau kondisi (AIDS), tapi penyakit-penyakit yang ada pada Odha setelah masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV), disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, TB, dll.

Judul berita ini pun sensasional dan tidak akurat. Yang terinfeksi bukan distrik (daerah), tapi penduduk. Yang menular pun bukan AIDS, tapi HIV. Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai Juni 2010 sebanyak 2.302 merupakan dilema bagi Mimika karena jumlah ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Soalnya, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagai kecil dari kasus yang ada di masyarakat.

Kambing Hitam

Ada pula pernyataan: “Bahkan kampung terpencil seperti Hoeya, Distrik Jila, penduduknya sudah tertular virus yang mematikan itu.” Ini mengesankan virus ‘merambah’ ke kampung terpencil. Padahal, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kampung terpencil di bawa oleh penduduk lokal atau pendatang. Penduduk lokal yang tertular HIV di luar kampung (daerah) akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di kampungnya. Sedangkan pendatang yang mengidap HIV akan menularkan HIV kepada penduduk setempat melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah.

Kesan yang muncul adalah penduduk kampung terpencil itu menjadi korban karena HIV ‘menyerang’ mereka. Ini yang keliru sehingga mendorong penyangkalan dari penduduk. Padahal, perilaku seksual sebagian penduduk yang mendorong penyebaran HIV di kampung terpencil itu.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Mimika, Reynold Ubra, mengatakan: “ .... prevalensi warga asli Papua dari tujuh suku di Mimika (Amungme, Kamoro, Mee, Nduga, Damal) lebih besar dibanding kelompok warga lainnya (termasuk pendatang).” Prevalensi adalah perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula.

Disebutkan oleh Reynold: “Kalau dari seribu warga pendatang teridentifikasi dua orang positif HIV, dari kelompok tujuh suku asli Mimika ada 21 warga yang positif HIV.” Apakah angka prevelansi ini diperoleh dari survailans tes HIV? Ada kemungkinan angka ini diperoleh dari klinik VCT atau rumah sakit yaitu kasus orang per orang yang datang untuk tes HIV atau berobat. Bisa saja terjadi kasus infeksi HIV di kalangan penduduk asli lebih awal daripada di kalangan pendatang. Kondisi ini membuat infeksi HIV di kalangan penduduk asli sudah mencapai masa AIDS yang memaksa mereka berobat.

Disebutkan pula: “KPA Mimika pada Jumat siang mengumpulkan seluruh pengusaha panti pijat, bar, dan kelompok-kelompok pekerja seks komersil di Mimika, untuk memaparkan berbagai program pengendalian HIV/AIDS di Mimika.” Lagi-lagi hal ini mengabaikan fakta empiris tentang penyebaran HIV di Mimika.

Pertama, ada kemungkinan HIV ditularkan oleh penduduk lokal kepada pemijat, cewek bar atau pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di Mimika. Kalau ini yang terjadi maka ada penduduk lokal, terutama laki-laki, yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV kepada PSK dan penduduk, khususnya pasangan seks mereka, seperti istri atau selingkuhan.

Kedua, ada kemungkinan pemijat, cewek bar atau PSK yang beroperasi di Mimika sudah mengidap HIV ketika mereka tiba di Mimika. Artinya, mereka tertular HIV di luar Mimika. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk Mimika berisiko tinggi tertular HIV jika mereka melakukan hubungan seks dengan pemijat, cewek bar atau PSK yang beroperasi di Mimika tanpa kondom. Laki-laki yang tertular pun kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun