Di saat di banyak negara di dunia insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa mulai menunjukkan grafik yang mendatar, tapi di Asia Pasifik, terutama di Indonesia, kasus infeksi HIV justru meroket. Indonesia merupakan salah satu dari tiga negera di Asia dengan percepatan kasus HIV yang tinggi setelah Cina dan India.
Ketika kasus demi kasus HIV/AIDS terdeteksi, celakanya tanggapan yang muncul justru tidak realistis. Lihatlah yang akan dilakukan oleh Pemkab Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim, ini: seperti dikemukakan oleh Kabid Rehabilitasi Kesetiakawanan Sosial Dinsos Kukar, Suprianto: Kalau ada pekerja seks komersial (PSK) yang terdeteksi HIV/AIDS dan tidak bisa diobati akan dipulangkan ke daerah asalnya (Antisipasi Penyebaran HIV/AIDS, Darah PSK Diperiksa, www.kutaikartanegara.com, 18/04-2011).
Pemkab Kukar tidak objektif karena ketika pertama kali ‘praktek’ di Kukar PSK itu tidak menjalani tes HIV. Maka, bisa saja mereka justru ditulari laki-laki dewasa penduduk Kukar, asli atau pendatang. Maka, kalau ini yang terjadi tentulah Pemkab Kukar harus bertanggung jawab karena penduduknya sudah menularkan HIV kepada PSK.
Disebutkan pula: “Untuk mengantisipasi penyebaran HIV/AIDS di daerah ini, Pemkab Kukar,melalui Dinas Sosial (Dinsos), melakukan pengambilan sampel darah terhadap PSK di sebuah lokalisasi di Desa Bangun Rejo, Kec Tenggarong Seberang.”
Tidak dijelaskan bagaimana kaitan antara pengambilan sampel darah 151 PSK dengan antisipasi penyebaran HIV. Soalnya, ada dua kemungkinan terkait dengan HIV/AIDS yang terdeteksi pada PSK.
Pertama, ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Kukar justru tertular HIV dari laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Kab Kukar, asli atau pendatang. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, suami gelap, lajang, duda atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Kedua, ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Kukar sudah mengidap HIV ketika tiba di Kukar. Kalau ini yang terjadi maka ada laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Kab Kukar, asli atau pendatang, yang berisiko tertular HIV dari PSK. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, suami gelap, lajang, duda atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Fakta itulah yang sering luput dari perhatian karena penanggulangan HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) dan masyarakat tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang konkret.
Lihat saja Perda AIDS Prov Kaltim yang sama sekali tidak menawarkan cara-cara pencegahan yang konkret. Maka, amatlah wajar kalau kemudian penyebaran HIV di Kaltim terus terjadi (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/26/sepak-terjang-perda-aids-prov-kalimantan-timur/).
Menurut Kepala Dinsos Kukar, Mursito, "Kita semua tak ingin penyakit yang sangat berbahaya itu (AIDS.red) menyebar di Kukar." Namun, Mursito tidak memberikan cara-cara yang konkret agar HIV/AIDS tidak menyebar di Kukar. Mursito justru memberikan stigma terhadap PSK dengan pengambilan darah karena mengesankan HIV/AIDS hanya ada di PSK pada lokalisasi pelacuran.
PSK sendiri dikenal sebagai: (a) PSK langsung yaitu PSKdi jalanan, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam, dan PSK tidak langsung yaitu ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll. Di Sulawesi Selatan dikabarkan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).
Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah di Kukar khususnya dan di Kaltim umumnya tidak ada PSK tidak langsung?
Kalau tidak ada maka tidak ada masalah, tapi kalau ada maka ada masalah besar yang dihadapi Pemkab Kukar dan Pemprov Kaltim karena PSK tidak langsung tidak bisa dikontrol.
Menurut Suprianto: "Kalau ada yang terjangkit, kita lihat dulu tingkatannya. Misalnya belum parah atau masih tingkat rendah maka kita usahakan diobati. Tetapi jika sudah tak bisa diobati maka akan kita pulangkan ke daerah asalnya." Ini pernyataan yang ngawur.
Pertama, tidak ada tingkatan dalam infeksi HIV. Yang ada adalah infeksi HIV dan masa AIDS. Masa AIDS terjadi, secara statistik, antara 5 dan 15 tahun setelah tertular HIV.
Kedua, pada rentang infeksi HIV tidak ada gejala penyakit. Gejala penyakit baru muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, jamur, TB, dll. Semua bisa diobati dan obatnya tersedia sampai ke puskesmas.
Ketiga, pada masa AIDS ada obat yaitu obat antiretroviral (ARV) yang tersedia secara luas dan gratis. Obat ini bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk menekan pertumbuhan virus (HIV) di dalam darah.
Keempat, memulangkan PSK yang terdeteksi HIV merupakan perbuatan yang melawan hukum (pidana) dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Kelima, biar pun PSK yang terdeteksi HIV/AIDS dipulangkan tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK masih ada di masyarakat dan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.
Memulangkan PSK yang terdeteksi HIV sudah lama dilakukan oleh Pemprov Riau, Pemprov Kepulauan Riau, dan beberapa daerah lain di Indonesia timur. Mereka menganggap jika ‘PSK AIDS’ sudah dipulangkan, maka daerahnya ‘bebas AIDS’. Ini yang menyesatkan karena ada laki-laki yang mengidap HIV di masyarakat tapi tidak terdeteksi (Lihat Gambar 1).
[caption id="attachment_102357" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 1. PSK terdeteksi HIV yang dipulangkan ke daerah asalnya"][/caption]
Penyebaran HIV di masyarakat dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Kalau Pemkab Kukar atau Pemprov Kaltim menanggulangi HIV/AIDS dengan cara-cara yang konkret maka insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa, ibu-ibu rumah tangga dan bayi dapat ditekan (Lihat Gambar 2).
[caption id="attachment_102356" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 1. Laki-laki yang menularkan dan tertular HIV ke dan dari PSK"][/caption]
Intervensi dilakukan dengan kewajiban memakai kondom (dalam gambar ditunjukkan dengan garis panah putus-putus). Tapi, pertanyaannya adalah: Apakah Pemkab Kukar atau Pemprov Kaltim mau memakai akal sehat dalam penanggulangan HIV/AIDS?
Jika Pemkab Kukar atau Pemprov Kaltim tetap mengedepankan moralitas dalam menanggulangi HIV/AIDS, maka selama itu pula penyebaran HIV di masyarakat. Ya, tinggal menunggu ‘panen’ AIDS karena kasus-kasus HIV yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H