Dengan 162 kasus kumulatif HIV/AIDS dengan 9 kematian di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang dilaporkan sejak tahun 2007 sampai 2011 menunjukkan penyebaran HIV di kota itu tidak bisa lagi dilihat dengan sebelah mata.
Ada anggapan bahwa kasus HIV/AIDS di Tangsel dipicu oleh kehadiran tempat-tempat hiburan dan prostitusi ilegal. Yang perlu diketahui adalah tidak ada negara yang melegalkan pelacuran, tapi membuat regulasi dengan melokalisir pelacuran.
Apakah di tempat-tempat hiburan dan tempat prostitusi yang ada di Tangsel disediakan kamar atau ruangan sebagai tempat untuk melakukan hubungan seksual?
Kalau jawabannya YA, maka penyebaran HIV akan menjadi persoalan besar jika tidak ada program yang konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari penduduk ke pekerja seks komersial (PSK) dan sebaliknya.
Ada dua bentuk PSK yaitu PSK langsung dan PSK tidak langsung.
PSK langsung adalah PSK yang ’beroperasi’ di lokasi atau lokalisasi pelacuran, taman atau di tepi jalan raya.
Sedangkan PSK yang banyak terdapat di Sulut adalah PSK tidak langsung yang ’beroperasi’ di kafe, diskotek, pub, biliar, rumah musik, dll. PSK tidak langsung adalah PSK yang ’menyamar’ sebagai ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ’cewek kafe’, ’cewek pub’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu rumah tangga’, ’cewek ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, ’pacar’, ’kumpul kebo’, ’kawin kontrak’, nikah mut’ah, selingkuhan, WIL (wanita idaman lain), dll.
Dalam kaitan itulah Pemkot Tangsel perlu memikirkan untuk membuat regulasi berupa melokalisir tempat-tempat hiburan sehingga tidak ada lagi tempat hiburan di luar lokalisasi.
Biar pun Pemkot Tangsel terus-menerus merazia tempat-tempat hiburan praktek pelacuran tetap akan terjadi di berbagai tempat, seperti di rumah, kos-kosan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang serta apartemen.
Bisa juga terjadi laki-laki penduduk Tangsel melakukan perilaku berisiko di luar Tangsel. Bisa pula mereka tertular jauh hari sebelum ada tempat hiburan di Tangsel.
Jika bertolak dari 9 kasus AIDS yang dilaporkan di Tangsel menunjukkan mereka sudah tertular HIV minimal 5 tahun yang lalu. Bahkan, kalau dikaitkan dengan statistik masa AIDS maka rentang waktu penularan pada 9 kasus AIDS itu adalah antara tahun 1996 dan 2006.
Ada pula anggapan kasus HIV/AIDS di Kota Tangsel terjadi karena berdekatan dengan daerah lain seperti Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi. Ini asumsi yang naïf karena Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi juga akan mengatakan daerah mereka ‘rawan’ HIV/AIDS karena dekat dengan Kota Tangsel.
Yang perlu dilakukan oleh Pemkot Tangsel adalah melakukan intervensi melalui peraturan daerah (perda) terhadap laki-laki ’hidung belang’ penduduk Kota Tangsel yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat-tempat hiburan dan prostitusi di Kota Tangsel atau di luar Kota Tangsel.
Langkah pertama adalah mewajibkan laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung di wilayah Tangsel atau di luar wilayah Tangsel.
Langkah kedua adalah mewajibkan laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan istrinya jika tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual denan PSK langsung dan PSK tidak langsung di wilayah Tangsel atau di luar wilayah Tangsel.
Langkah ketiga adalah membuat regulasi agar semua ibu rumah tangga yang hamil menjalani tes HIV. Hal ini untuk melindungi anak-anak agar tidak tertular HIV dari ibu mereka. Selain itu jika seorang ibu rumah tangga hamil terdeteksi HIV maka itu menunjukkan suaminya mengidap HIV.
Jika Pemkot Tangsel tidak menerapkan langkah-langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, maka kelak akan terjadi ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H