Biar pun ‘rumus’ yang dikabarkan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu jika ada 1 kasus HIV/AIDS terdeteksi maka ada 100 kasus lain yang tidak terdeteksi bukan untuk keperluan secara umum, tapi tetap saja ada yang memakainya secara langsung.
Lihatlah hitung-hitungan yang dilakukan Sekretaris KPAD Kota Sorong, Johanes Toisutta, ini: ”Jadi HIV dan AIDS yang terdata 1.063, bila dikalikan dengam 100 sama dengan 106.300 orang, dan dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Sorong 190.341 jiwa. Maka sekitar 55% penduduk Kota Sorong terinfeksi HIV, berdasarkan teori di atas.” (Diprediksi 55% Penduduk Kota Sorong Terinfeksi HIV, www.mediaindonesia.com, 8/6-2011).
‘Rumus’ tsb. hanya untuk keperluan epidemilogi, misalnya, merancang program, menyediakan kondom, dll., tapi dengan persyarata, al. tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kodom rendah, dll.
Lagi pula kalau ‘rumus’ tsb. berlaku umum, maka dari 6,9 miliar penduduk bumi ada 3,1 miliar pengidap HIV/AIDS. Atau di Indonesia dengan 24.000 kasus AIDS maka ada 2,4 juta penduduk yang mengidap AIDS. Angka-angka ini fantastis dan tidak masuk akal. Maka, ‘rumus’ itu tidak bisa dipakai secara ‘telanjang’.
Disebutkan: “Penularan HIV dan AIDS sebagian besar akibat hubungan seks tidak aman. Ironisnya 80% pengidap HIV dan AIDS di kota tersebut merupakan usia produktif.”
Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalang remaja bukan ironi, tapi kesialan yang terjadi karena remaja tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang cara-cara mencegah penularan HIV. Selama ini informasi HIV/AIDS selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, remaja hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Lagi pula, pada masa usia produktif dorongan hasrat seksual sangat besar sehingga mereka membutuhkan penyaluran yang bersifat biologis. Celakanya, tidak ada perangkat lunak yang diberikan kepada remaja untuk melindungi diri mereka agar tidak tertular HIV. Yang diberikan selama ini hanya pesan-pesan moral yang tidak menyentuh akar persoalan.
Menurut Toisutta, masih banyak kasus yang tersembunyi. Memang, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (1.063) yaitu puncak gunung es yang menyembul ke atas permukaan air laut hanya bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat yaitu bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Angka yang tidak terdeteksi dapat diperhitungkan dari jumlah pekerja seks komersial (PSK) dan laki-laki lokal yang menjadi pelanggan PSK di Lokalisasi Pelacuran Malanu. Tingkat risiko tertular HIV kian besar jika pemakaian kondom di lokalisasi itu rendah.
Menurut Toisutta, untuk mencegah penyebaran HIV KPAD akan terus melakukan penyebaran informasi, membangun outlet kondom baik di tempat-tempat transaksi seksual.
Pertanyaannya adalah: Apakah informasi yang disebarkan berisi fakta medis tentang HIV/AIDS?
Kalau jawabannya TIDAK, maka penyebaran informasi itu tidak ada manfaatnya karena masyarakat tidak akan mengetahui cara-cara pencegahan yang konkret.
Disebutkan pula: “Termasuk pada kelompok masyarakat yang rentan terkena penyakit seksual dan HIV harus mendapat prioritas penyuluhan.” Tidak ada kelompok masyarakat yang rentan tertular HIV karena risiko tertular HIV tergantung pada perilaku orang per orang.
Kota Sorong sendiri sudah menelurkan peraturan daerah (Perda) yaitu Perda Kota Sorong No 41 Tahun 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan IMS dan HIV/AIDS, tapi karena tidak menyentuh akar persoalan maka perda itu hanya jadi hiasan lemari arsip. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H