Biar pun penyebaran HIV sudah ada di semua daerah, tapi penyangkalan tetap saja terjadi, terutama penyangkalan terkait dengan perilaku penduduk lokal. Seperti yang terjadi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, ini. Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Musadar Mapasomba, mengatakan: "Para penderita itu sebenarnya kebanyakan dari luar daerah Kendari, bukan tertular dari Kota Kendari, mereka datang di daerah ini dalam keadaan sudah tertular," (KPA: Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Pendekatan Keluarga, ANTARA News, 21/6-2011)
Dalam berita tidak dijelaskan siapa yang dimaksud ’dari luar kendari’. Dikabarkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Kendari 38. Jika yang dimaksud dengan ’dari luar kendari’ adalah pekerja seks komersial (PSK) maka ada dua kemungkinan terkait dengan HIV/AIDS pada PSK tsb., yaitu:
Pertama, ada kemungkinan HIV pada PSK yang terdeteksi HIV di Kota Kendari ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk lokal. Selanjutnya ada pula laki-laki lokal yang tertular HIV dari PSK tsb. Laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan yang tertular HIV dari PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, duda, atau lajang. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.
Kedua, ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Kota Kendari tertular HIV sebelum tiba di Kota Kendari. Jika ini yang terjadi maka laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Kota Kendari berisiko tinggi tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.
Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan lain, seperti PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.).
Biar pun di Kota Kendari tidak ada lokalisasi pelacuran yang kasat mata, tapi: Apakah KPA Kendari bisa menjamin bahwa di Kota Kendari sama sekali tidak ada praktek pelacuran? Penyangkalan terus terjadi, bahkan ada kesan kasus HIV/AIDS di Kota Kendari karena letak geografis kota itu (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/09/aids-di-kota-kendari-sultra-menyalahkan-letak-geografis-kota-kendari/).
Biar juga terjadi laki-laki dewasa penduduk Kota Kendari melakukan hubungan seksual berisiko di luar Kota Kendari. Perilaku berisiko adalah:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Kota Kendari, di luar wilayah Kota Kendari, atau di luar negeri.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kota Kendari, di luar wilayah Kota Kendari, atau di luar negeri.
Terkait dengan penyebaran HIV, Ketua KPA Kendari, mengatakan, penanggulangan HIV/AIDS harus diutamakan melalui pendekatan keluarga.
Pertanyaannya adalah: Bagaimana pendekatan keluarga untuk mencegah perilaku (a) dan(b) di atas?
Disebutkan lagi oleh Ketua KPA: "Untuk menagggulangi penyebaran dan terjangkitnya HIV/AIDS terhadap generasi muda kita, tidak cukup hanya melakukan kampanye, tetapi yang terpenting adalah keterlibatan utama keluarga dalam menjaga anggota keluarganya."
Tetap saja generasi muda yang menjadi ’sasaran tembak’. Padahal, fakta menunjukkan penyebaran HIV justru dilakukan oleh laki-laki dewasa yang dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.
Tanpa kampanye (penyuluhan) dengan materi yang akurat, maka masyarakat tidak akan mengetahui cara-cara penularandan pencegahan HIV yang konkret.
Musadar mengatakan: ” .... bagi mereka yang sudah terserang HIV/AIDS tentu akan diberikan pengobatan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana caranya mencegah agar penyakit tersebut tidak terus berkembang di Kota Kendari.”
Tidak semua orang yang sudah terdeteksi HIV meminum obat. Standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan obat antiretroviral (ARV) mulai diberikan kepada orang dengan HIV/AIDS (odha) ketika CD4-nya (diperiksa di laboratorium) berada pada angka 350.
Pernyataan yang menyebutkan ’mereka yang sudah terserang HIV/AIDS tentu akan diberikan pengobatan’ mengesankan mereka sudah sakit. Padahal, penyakit yang terkait AIDS baru muncul setelah tertular HIV antara 5-15 tahun setelah tertular yang disebut masa AIDS.
Disebutkan: ” .... yang terpenting adalah bagaimana caranya mencegah agar penyakit tersebut tidak terus berkembang di Kota Kendari.” Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang cra-cara konkret untuk mencegah agar HIV/AIDS tidak ’berkembang’ di Kota Kendari.
Lagi-lagi Ketua KPA mengaitkan HIV/AIDS dengan mitos (anggapan yang salah), yaitu: ” .... mungkin ada hubungannya juga dengan Kota Kendari sebagai ibu kota provinsi." Di daerah atau kota yang bukan ibu kota provinsi pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS karena bisa saja penduduk kota itu tertular di luar kota.
Musadar juga mengatakan: ” .... coba kalau moralnya bagus tidak mungkin akan melakukan free sex." Kalau free sex yang dimaksud Musadar adalah zina, maka tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual).
Musadar juga mengatakan: ” .... kalau hanya dengan membagi-bagikan kondom kepada seseorang, masalah ini tidak akan selesai, buktinya, sampai sekarang penderita HIV/AIDS justru tambah banyak.”
Lagi-lagi Musadar berbicara dengan landasan asumsi dan mitos.
Kondom tidak dibagikan kepada setiap orang, tapi hanya kepada laki-laki ’hidung belang’. Pertanyaannya adalah: Apakah ada jaminan bahwa semua laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual yang berisiko?
Kalau jawabannya TIDAK, maka penyebaran HIV terus terjadi sehingga kasus pun bertambah. Lagi pula kasus-kasus HIV yang terdeteksi justru merupakan langkah besar dalam penanggulangan epidemi HIV karena semakin banyak kasus terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.
Celakanya, orang seperti Musadar yang seharusnya mengedepankan fakta medis dalam menanggulangi HIV/AIDS justru membalut HIV/AIDS dengan moral sehingga penyebaran HIV akan terus terjadi.
Jika KPA Kota Kendari tidak menerapkan cara-cara penanggulangan yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Pemkot Kendari tinggal menunggu ’panen AIDS’ karena kelak kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waku’ ledakan AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H