“Dibanding PSK, Ibu Rumah Tangga Lebih Banyak Kena AIDS.” Ini judul berita di okezone.com (26/11-2010). Disebutkan: Data di Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2010 menunjukkan ibu rumah tangga menempati jumlah terbanyak kasus AIDS yakni 1.970. Angka ini lebih tinggi dibanding pekerja seks komersil (PSK) yang mencapai 604.
Terkait dengan data di atas ada realitas yang tidak muncul dalam berita tsb.
Pertama, ibu-ibu rumah tangga itu tertular dari suaminya sehingga sudah ada 3.940 penduduk yang AIDS. Jika di antara ibu-ibu rumah tangga itu ada yang melahirkan maka jumlah kasus HIV akan bertambah pula karena ada risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya antara 2-30 persen.
Kedua, kasus HIV di kalangan PSK ditularkan oleh laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK bisa sebagai seorang suami, selingkuhan, PIL, lajang atau duda.
Ketiga, dalam berita tidak ada penjelasan tentang bagaimana pendeteksian HIV/AIDS di kalangan ibu-ibu rumah tangga tsb.
Keempat, dalam berita juga tidak dijelaskan cara yang dilakukan untuk mendeteksi HIV/AIDS di kalangan PSK.
Kelima, tidak ada penjelasan tentang frekuensi survailans tes HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan PSK.
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH, menduga penyebab kasus HIV/AIDS di kalangan ibu-ibu rumah tangga adalah kurangnya keterbukaan di antara pasangan suami istri. Persoalannya utama bukan terkait dengan keterbukaan, tapi karena banyak suami yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV. Ini terjadi karena informasi HIV/AIDS yang selama ini disampaikan ke masyarakat selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang ditangkap masyarakat bukan fakta tapi mitos.
Kondisinya kian runyam karena ada keyakinan di masyarakat yang menempatkan perempuan (baca: istri) sebagai sub-ordinat dari suami. Akibatnya, istri tidak mempunyai posisi tawar yang kuat untuk mempertanyakan perilaku (seksual) suaminya. Bahkan, perempuan (istri) selalu dituntut ‘manut’ kepada suaminya. Belakangan, ada anggota DPRD Prov Jambi yang mengusulkan agar ada tes keperawanan. Ini diskriminasi karena tidak diimbangi dengan tes keperjakaan.
Dikatakan oleh Nafiah, bahwa wanita butuh melindungi diri, tapi sedikit sekali istri yang bisa memaksa suaminya untuk memakai kondom. Untuk itulah dilakukan pendekatan melalui tempat penularannya, yakni lokalisasi pelacuran. Diupayakan pemberdayaan pekerja seks. Cara ini juga sudah diskriminatirf karena yang menjadi kuncuk bukan PSK, tapi laki-laki ‘hidung belang’ kerena laki-laki inilah yang menularkan HIV ke PSK danmembawa HIV dari PSK ke masyarakat.
Kalau saja kita mau menoleh dengan akal sehat ke Thailand satu persoalan sudah teratasi. Negeri Gajah Putih itu bisa menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual di lokalisasi atau lokasi pelacuran dengan program ‘wajib kondom 100 persen’. Program ini memang ‘dicangkok’ Indonesia dalam 40 peraturan daerah (Perda) AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
Tapi, cara mencangkoknya tidak komprehensif. Penegakan hokum terkait dengan program itu di Thailand dilakukan melalui survailans tes IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual di dalanm dan di luar nikah, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.) rutin terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan PSK tadi meladeni laki-laki tanpa kondom. Germo atau mucikari ditindak mulai dari peringatan sampai pencabutan izin usaha.
Dalam 40 perda tidak ada mekanisme ini. Yang terjadi adalah bias gender karena yang menjadi objek justru PSK. Di Kab Merauke, Papua, sudah beberapa PSK yang dihukum pidana. Tapi, ada yang dilupakan Pemkab Merauke dan KPA Merauke yaitu laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan yang tertular IMS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV. Di sisi lain PSK ‘posisi’ PSK yang ditahan itu sudah diganti PSK ‘baru’.
Berbeda halnya kalau germo atau mucikari yang diberikan sanksi. Mengurus izin usaha tidak semudah menggati PSK. Sehingga germo akan melindngi PSK yang menjadi anak buahnya. Sedangkan di Indonesia laki-laki ‘hidung belang’ justru memakai tangan germo untuk memaksa PSK agar meladeni mereka biar pun tidak memakai kondom.
Disebutkan pula: dari pihak suami, pendekatannya adalah melalui perusahaan tempat dia bekerja, seperti apa yang dilakukan Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA). Tentu saja cara ini tidak akan efektif karena pengawasannya tidak ada. Lagi pula laki-laki ‘hidung belang’ bukan hanya karyawan perusahaan yang tergabung di IBCA.
Disebutkan oleh Nafsiah: “Kalau dia kuat imannya, jangan pergi ke tempat pelacuran. Kalau dia tidak kuat, ya harus pakai kondom, harus bertanggung jawab. Sehingga, kita melindungi ibu rumah tangga yang tidak tahu apa-apa di rumah. Banyak sekali suami yang tidak mau mengaku kepada istrinya. Itu pengalaman kami.”
Persoalan yang ada di Indonesia hubungan seksual berisiko justru dilakukan bukan dengan PSK langsung dan tidak di lokalisasi atau lokasi pelacuran. Hubungan seksual tanpa kondom banyak dilakukan dengan PSK tidak langsung (‘anak sekolah’, ‘mahsiswi’, ‘cewek bar’, ‘cewek diskotik’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, perempuan pemijat, dll.) di luar lokalisasi pelacuran. Ada anggapan hal ini tidak berisiko karena informasi selama ini menyebutkan penularan HIV terjadi malalui ‘seks bebas’ dengan PSK.
Selama penanggulangan epidemi HIV tetap dibalut dengan norma, moral dan agama maka selama itu pula akan terjadi penyebara HIV karena banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat karena selalu dikaitkan dengan aurat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H