“Gila, Ada 20 Pengidap HIV/AIDS di Sumenep (Jawa Timur-pen.) Tahun 2016 Ini.” Ini judul berita di surabaya.tribunnews.com (15/10-2016). Judul ini menunjukkan pemahaman terhadap epidemi HIV/AIDS yang sangat rendah pada sebagian wartawan dan redaktur.
Apa yang gila? Kalau saja wartawan dan redaktur yang membuat judul berita itu mengetahui bahwa penyebaran HIV/AIDS seperti fenomena gunung es tidak terbayangkan apa judul yang akan diberikan wartawan dan redaktur media tsb. Soalnya, 20 kasus yang terdeteksi pada tahun 2016 itu hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Super gila? Gila-gilaan? Dst ....
Kalau di antara yang 20 itu ada laki-laki dewasa yang juga seorang suami, maka mereka inilah yang ‘gila’ karena tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual berisiko tertular HIV. Lebih ‘gila’ lagi karena suami yang tertular HIV akan menularkan virus tsb. ke istrinya. Kegilaan belum berhenti karena kalau dia menularkan HIV ke istrinya, maka ada pula risiko istrinya akan menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya kelak.
Disebutkan: “Tercatat ada 20 penderita HIV/AIDS dan bahkan salah satunya diderita pasien yang masih berumur 5 bulan.”
Nah, ini bukti ‘kegilaan’ suami-suami yang ngeseks berisiko yang menjadi penyebaran HIV di keluarganya yaitu ke istrinya dan kemudian istrinya menularkan ke bayi yang dikandungnya. Dalam berita tidak dijelaskan langkah Dinas Kesehatan Sumenep menangani ayah pasien yang berumur 5 bulan itu. Soalnya, kalau tidak mendapatkan konseling dan tidak pula tes HIV besar kemungkinan laki-laki ini jadi penyebar HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Data lain yang tidak ada dalam berita tsb. adalah tidak dijelaskan faktor risiko atau cara penularan HIV kepada 20 warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu. Yang dikhawatirkan Dinkes Sumenep berkelit dengan mengatakan bahwa di wilayah Kabupaten Sumenep tidak ada pelacuran.
Dari sisi de jure (hukum) it benar karena sejak reformasi pusat-pusat rehabilitasi dan resosialisasi pekerja seks komersial (PSK) ditutup sehingga praktek pelacuran dalam berbagai bentuk yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu (de facto). Bisa juga terjadi warga Sumenep tertular di luar daerah, dan akan menyebarkan HIV di Sumenep.
Sedangkan dalam berita “Selama Tahun 2016, Penderita HIV/AIDS di Sumenep Berjumlah 20 Orang” (suarajatimpost.com, 15/10-2016) disebutkan “ .... terjangkit virus mematikan.”
‘Hari gini’ masih saja ada wartawan dan redaktur yang mengatakan HIV sebagi virus yang mematikan. Kematian pada pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV atau AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara statistik antara 5-16 tahun setetalah tertular HIV), disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Dalam dua berita itu tidak disebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sumenep, selain yang terdeteksi pada tahun 2016.
Lalu, apa yang dilakukan Dinkes Sumenep dalam menanggulangai HIV/AIDS? Ini dia: Untuk menanggulangi hal tersebut pihaknya melakukan pendeteksian secara dini pasien HIV/AIDS. Dan juga pihaknya telah menambah pelayanan poli khusus untuk menangani penderita HIV/AIDS di setiap puskesmas se Kabupaten Sumenep.