Dengan 139 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Sumedang, Jawa Barat, dikabarkan anggota Komisi C DPRD Kab Sumedang, Ina Herlina Widia, bergidik (Anggota DPRD Bergidik, HIV/AIDS di Sumedang Tinggi, www.inilahjabar.com, 6/6-2011).
Anggota Komisi C DPRD Sumedang tersebut bergidik karena dia menilai angka kasus HIV/AIDS tsb. tinggi. Anggota DPRD itu akan lebih bergidik lagi kalau dia tahu bahwa angka itu hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Tidak jelas apakah KPA Kab Sumedang yang mendatangi DPRD itu juga menjelaskan tentang fenomena gunung es pada epidemi HIV.
Disebutkan pula: “Tak hanya itu, anggota dewan terutama para perempuan semakin terperangah saat disodorkan data-data perbuatan asusila di Sumedang yang berpotensi menimbulkan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual.” Ini menunjukkan anggota DPRD yang menjadi wakil rakyat ternyata tidak mengetahui persoalan yang ada di masyarakat yang diwakiliknya. Ini artinya selama ini mereka duduk di ‘menara gading’ (KBBI: tempat untuk menyendiri, msl tempat studi, yang memberi kesempatan untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya).
Lagi-lagi KPA Sumedang mengumbar mitos (anggapan yang salah) terkait dengan penularan HIV yaitu asusila. Risiko penularan melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, asusila, melacur, ‘seks bebas’, selingkuh, ‘jajan’, dll.), tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom).
Ina Herlina Widia, mengatakan: “Saya sampai bergidik melihatnya. Datanya (tindakan berpotensi HIV/AIDS) juga sangat mencengangkan sekali.”
Anggota DPRD itu lupa kalau kawin-cerai juga merupakan perilaku yang berisiko tertular HIV karena masing-masing dari pasangan itu sebelumnya mempunyai pasangan. Perilaku pasangan-pasangan mereka itu tidak diketahui sehingga ada kemungkinan mereka melakukan perilaku berisiko.
Perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV adalah:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa penduduk Kab Sumedang yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Kab Sumedang, di luar wilayah Kab Sumedang atau di luar negeri.
(b). Laki-laki dewasa penduduk Kab Sumedang yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Sumedang, di luar wilayah Kab Sumedang atau di luar negeri.
Pertanyaanya adalah: Apakah Pemkab Sumedang dan DPRD Kab Sumedang bisa menjamin penduduk Kab Sumedang tidak ada yang melakukan perilaku (a) atau (b) atau dua-duanya?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yaitu penyebaran HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah.
Disebutkan: ”Selain pengguna narkoba suntik (penasun) yang menjadi penyumbang terbesar kasus HIV, perilaku buruk lainnya juga banyak terjadi di Sumedang. Sebut saja, pengguna narkoba, penjaja seksual, perilaku seksual sejenis, dan waria.”
Pernyataan di atas tidak akurat karena kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga sama sekali tidak terkait dengan perilaku buruk. Pernyataan itu menyuburkan stigma (pemberian cap negatif) kepada orang-orang yang tertular HIV melalui cara-cara yang sama sekali tidak terkait dengan perilaku buruk, seperti transfusi darah, jarum suntik, dari suami-ke-istri, dan dari ibu-ke-bayi.
Satu lagi yang luput dari perhatian KPA Sumedang adalah tenaga kerja Indonesia (TKI), terutama tenaga kerja wanita (TKW), karena banyak di antara mereka menjadi korban yang dijadikan PSK. Ada pula yang diperkosa majikannya, ada juga yang menjadi istri majikan. Persoalannya adalah di beberapa negara tujuan TKW prevalensi HIV (perbandingan antara yang HIV-negatif dan HIV-positif) di kalangan penduduk sangat tinggi sehingga risiko tertular HIV terhadap TKW sangat besar.
Kalau KPA Sumedang tidak menerapkan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi HIV, maka penyebaran HIV akan terus terjadi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H