Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Lombok Timur (Lotim), NTB, dari tahun 2003 sampai Agustus 2011 dilaporkan 86 yang terdiri atas 60 HIV dan 29 AIDS dengan 16 kematian. Tahun 2011 saja terdeteksi 11 kasus HIV/AIDS (89 Orang Pengidap HIV/AIDS di Lotim, ANTARA, 4/8-2011).
Bertolak dari kasus tsb. Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Lotim, H. Fathurrahman, mengatakan: “ …. dengan tingginya jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Lombok Timur dari kurun waktu 2003-2011 ini, menuntut adanya upaya dan solusi penyelesaian terhadap masalah penyebaran HIV/AIDS di Lombok Timur.”
Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang langkah-langkah konkret yang akan dilakukan oleh Pemkab Lotim untuk menanggulangi penyebaran HIV.
Dari 11 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tahun 2011 saja ada 6 HIV dan 5 AIDS. Jika dirunut ke belakang, maka 5 penduduk yang terdeteksi HIV pada masa AIDS tsb. sudah tertular HIV antara tahun 1996 dan 2006. Secara statistik masa AIDS terjadi setelah tertular HIV antara 5-15 tahun.
Nah, 5 penduduk itu tanpa mereka sadari mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya. Bayangkan kalau ada di antara yang 5 itu mempunyai istri lebih dari 1 maka kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV. Angka akan bertambah kalau di antara yang 5 itu ada laki-laki ‘hidung belang’ yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) karena dia akan menularkan HIV kepada PSK. Selanjutnya laki-laki lain yang juga pelanggan PSK akan berisiko pula tertular HIV.
Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga merupakan bukti dari perilaku laki-laki ‘hidung belang’.
Menurut Fathurrahman: "Pada bulan Juli 2011 ini saja terdapat dua penambahan pengidap HIV/AIDS di Lotim yakni satu pengidap HIV dan satu lagi pengidap AIDS."
Pernyataan ini mengesakan pengidap HIV dan pengidap AIDS berbeda. Yang benar adalah pengidap AIDS adalah orang-orang yang sudah mengidap HIV yang terdeteksi pada masa AIDS. Artinya, tertular HIV dulu baru masuk masa AIDS. Ada yang terdeteksi sebelum masa AIDS dan ada pula yang terdeteksi pada masa AIDS dengan penyakit yang disebut infeksi oportunistik (Lihat Gambar).
Disebutkan pula: “ …. sementara masalah sebaran data pengidap penyakit HIV/AIDS yang merupakan penyakit yang mematikan tersebut, dengan berkurangnya daya tahan tubuh para penderita tersebut.”
Pernyataan ini juga tidak akurat karena HIV dan AIDS tidak membunuh penderitanya. Yang mematikan odha (orang dengan HIV/AIDS) adalah penyakit yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, sariawan, TB, dll. Pada orang yang tidak mengidap HIV/AIDS penyakit ini mudah disembuhkan, tapi pada odha sulit sembuh karena sistem kekebalan tubuh mereka sudah rendah.
Disebutkan pula kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada TKI mencapai 20,7 persen. Ini merupakan tantangan bagi Pemkab Lotim karena TKI terutama TKW berisiko tertular HIV al. karena di beberapa negara tujuan TKW kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi.
Risiko TKI/TKW tertular HIV adalah ketika mereka diperkosa atau dinikahi (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/04/aids-pada-tkw-tidak-dibekali-cara-cara-pencegahan-yang-konkret/).
Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada TKI/TKW itu membuat berbagai kalangan di NTB ’bak kebakaran jenggot’ yaitu akan melakukan tes HIV bagi TKI/TKW yang baru tiba dari luar negeri. Cara ini diskriminatif karena tidak dilakukan kepada semua orang yang baru pulang dari luar negeri (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/15/diskriminatif-tes-hiv-khusus-untuk-tkw-di-prov-ntb/).
Faktor risiko (mode of transmission) dikabarkan 53 persen melalui hubungan seskual pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan). Salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual adalah (praktek) pelacuran karena laki-laki ’hidung belang’ enggan memakai kondom.
Biar pun di Lotim tidak ada lokalisasi pelacuran itu tidak merupakan jaminan bahwa di Lotim tidak ada (praktek) pelacuran. Karena praktek pelacuran tidak dilokalisir maka penyebaran HIV pun terjadi dengan mata rantai laki-laki ’hidung belang’ pelanggan PSK.
Pemprov NTB sendiri sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, karena tidak dibuat berdasarkan fakta medis maka pasal-pasal yang muncul pun hanya normatif sehingga tidak memberikan cara-cara penanggulangan yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/22/menyorot-kinerja-perda-aids-ntb/).
Disebutkan oleh Fathurrahman: ”Yang terdapat tujuh kategori kelompok yang beresiko, pria penjaja seks (PPS), wanita penjaja seks (WPS), laki suka laki-laki (LSL), waria, pelanggan pekerja seks, pasangan resiko tinggi (Resti) dan pengguna Narkoba suntik (Penasun)."
Yang berisiko tertular HIV bukan kelompok, tapi orang per orang berdasarkan perilaku seksnya. Seorang PSK pun tidak berisiko tinggi kalau dia hanya melayani laki-laki ’hidung belang’ yang memakai kondom.
Dalam kaitan itu yang perlu diintervensi oleh Pemkab Lotim adalah pelanggan PSK. Dalam kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, duda, lajang atau remaja.
Jika ada di antara mereka yang tertular HIV maka merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Untuk itulah perlu regulasi melokalisir pelacuran dan menjalankan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki pelanggan PSK. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H