Mitos (anggapan yang salah) terkait dengan penyebaran HIV tetap saja terjadi sehingga menggelapkan fakta tentang penularan HIV. Itulah yang terjadi di Fak-fak, Prov Papua Barat. Disebutkan: “Adanya lokasi prostitusi di seputar perusahaan Minyak dan Gas (Migas) di Kabupaten Fak-Fak Papua Barat, dinilai dapat memicu mudahnya penyebaran HIV/AIDS di kalangan masyarakat umum.” (Lokasi Prostitusi Dinilai Picu HIV/AIDS, tabloidjubi.com, 13/6-2011).
Pertama, ada fakta yang dilupakan yaitu yang menularkan HIV kepada pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran adalah laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal dan pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai seorang suami, duda, lajang, pacar, selingkuhan atau remaja. Mereka ini menjadi mata rantai penyebaran HIV, antara lain dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.
Kedua, ada laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal dan pendatang yang tertular HIV dari PSK (yang datang sudah mengidap HIV atau yang ditulari penduduk lokal) karena tidak memakai kondom ketika sanggaam. Dalam kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai seorang suami, duda, lajang, pacar, selingkuhan atau remaja. Mereka ini menjadi mata rantai penyebaran HIV, antara lain dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.
Dua hal di atas sering luput dari perhatian sehingga yang menjadi ‘kambing hitam’ hanya PSK. Dikabarkan 250 kasus HIV/AIDS terdeteksi pada bulan Mei 2011.
Biar pun di satu daerah ada lokalisasi atau lokasi pelacuran, kalau laki-laki dewasa di daerah itu tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK maka tidak ada penyebaran HIV di daerah itu.
Sebaliknya, biar pun di satu daerah atau negara tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran dan industri hiburan malam, kalau laki-laki dewasa di daerah atau negara itu tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan PSK di daerahnya, di luar daerah atau di luar negeranya maka ada risiko penyebaran HIV. Arab Saudi, misalnya, kita suci jadi UUD sehingga tidak ada kegiatan pelacuran dan hiburan malam tapi sudah dilaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.
Laode Harifu, Direktur Yayasan Pengembangan Kawasan Timur, mengatakan: “Sejauh ini, kami tetap melakukan penyuluhan di sejumlah lokasi prostitusi terutama di kawasan perusahaan minyak dan gas dan mengerahkan tim khusus memberi penyuluhan kepada anggota prostitusi supaya meminimalisir penyebaran HIV/AIDS.”
Segencar apa pun penyuluhan terhadap PSK untuk menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom mereka tetap pada posisi tawar yang rendah. Maka, yang perlu dilakukan adalah membuat regulasi agar germo atau mucikari memegang izin usaha sehingga ada kekuatan hukum yang bisa memberikan sanksi kepada mereka.
Di setiap lokasi pelacuran diterapkan program ‘wajib kondom 100 persen’. Secara rutin dilakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, hepatitis B, GO, dll.) terhadap PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo dikenai sanksi berupa denda, pencabutan izin usaha sampai kurungan. Dengan cara ini germo akan memaksa setiap laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan PSK.
Biar pun penyuluhan terhadap PSK tidak berguna karena keputusan memakai kondom ada pada laki-laki ‘hidung belang’, tapi Laode mengatakan: “ .... kami tetap kerja terkonsentrasi pada lokasi prostitusi untuk melaksanakan penyuluhan HIV/AIDS.”
Jika pelanggan PSK ada penduduk asli lokal, maka penyebaran HIV pun akan masuk ke komunitas lokal. Jika penanggulangannya tidak konkret maka komunitas lokal diambang kepunahan. Hal ini sudah terjadi di beberapa komunitas di Afrika. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H