Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS di Ende, Bupati Minta Semua Pejabat dan Anggota Dewan Tes HIV

13 Maret 2011   23:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:49 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13000596031927024008

Epidemi HIV mendorong banyak kalangan menanggapinya dengan cara-cara yang menunjukkan kepanikan, tapi tidak menyentuh akar persoalan. Itulah yang terjadi di Kab Ende, Prov Nusa Tenggara Timur (NTT).Tahun ini saja terdeteksi 35 kasus HIV/AIDS di Kab Ende.

Dikabarkan, Bupati Ende, Drs Don Bosco Wangge,MSi, meminta para pejabat lingkungan Pemkab Ende dan anggota DPRD Kab Ende agar memeriksakan darahnya untuk memastikan apakah ada penyakit atau tidak, termasuk HIV/AIDS(Kemungkinan Terkena HIV/AIDS, Pejabat Diminta Periksa Darah, tribunnews.com, 13/3-2011).

Tampaknya, Pak Bupati tidak memahami HIV/AIDS secara komprehensif. Buktinya, dia meminta semua pejabat agar menjalani tes HIV. Ini menyamaratakan perilaku semua pegawai di lingkungan Pemkab Ende.

Soalnya, tidak semua orang harus menjalani tesHIV karena tidak semua orang berisiko tertular HIV. Lalu, siapa saja, sih, yang harus menjalani tes HIV?

Mereka adalah laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta perempuan pelaku kawin cerai.

Selain itu adalah perempuan dewasa yang suaminya sering berganti-ganti pasangan, dan perempuan dewasa yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom didalam dan di luar nikah dengan laki-laki dewasa, seperti menjadi PSK tidak langsung, ‘istri simpanan’, selingkuhan, jadi WIL, serta kawin-cerai.

Maka, bertolak dari fakta di atas tentulah dipertanyakan mengapa Bupati Don mengatakan: “ …. dirinya sudah memeriksakan diri dan setiap enam bulan sekali melakukan pemeriksaan….. “ Tidak perlu melakukan tes HIV kalau tidak pernah melakukan perilaku berisiko tinggi.

Penyebaran HIV melalui PSK tidak langsung tidak bisa dilhat dengan sebelah mata karena keberadaan mereka tidak kasat mata. Di Makassar, misalnya, PSK tidak langsung mempunyai andil besar dalam penyebaran HIV di kota itu (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).

Bupati Don pun minta kepada para pejabat dan anggota dewan perlu melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, termasuk memeriksa darah. Tentu saja permintaan tidak pas karena tidaksemua pejabat dan anggota dewan yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Jangankan setiap enam bulan, seumur hidup pun tidak perlu melakukan tes HIV kalau tidak pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Untuk itulah penyuluhan HIV/AIDS dengan materi yang akurat ditingkatkan. Untuk pejabat dan anggota dewan dilakukan konseling dulu. Hasil konseling akan membuka mata hati mereka terkait dengan perilaku: kalau berisiko dianjurkan menjalani tes HIV, kalau tidak berisiko dibimbing agar tetap mempertahankan perilakunya

Menurut Bupati Don Wangge, penyakit HIV/AIDS tidak sama seperti penyakit lainnya seperti malaria yang bisa langsung diketahui. Serangan HIV/AIDS baru diketahui 10 atau 15 tahun kemudian.

Yang muncul setelah 5 – 10 tahun disebut masa AIDS adalah gejala berupa penyakit yang terkait dengan AIDS, seperti diare berkepanjangan, ruam, jamur di mulut, TB, dll. Tapi, perlu diingat bahwa gejala itu tidak otomatis terkait dengan AIDS. Gejala tsb. terkait dengan AIDS jika perilaku ybs. berisiko tinggi tertular HIV. Kalau perilaku tidak berisiko tertular HIV maka gejala itu tidak ada kaitannya dengan HIV/AIDS.

Jika hanya menunggu sampai masa AIDS, maka pada rentang waktu sejak tertular HIV sampai masa AIDS selama 5-15 tahun maka selama itu ybs. sudah menularkan HIV kepada orang lain. Inilah yang menjadi persoalan besar pada epidemi HIV. Penularan HIV terjadi tanpa disadari dan yang menjadi mata rantai adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi.

Persoalan besar akan muncul di Kab Ende jika laki-laki dewasa di daerah ini pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di wilayah Kab Ende atau di luar Kab Ende.

Kalau di Kab Ende ada lokasi pelacuran maka Pemkab perlu mengeluarkan peraturan yang mewajibkan laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Pemantauan dilakukan melalui survailan tes IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK.

Pemprov NTT sendiri sudah menerbitkan Perda No. 3/2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, tapi tidak bisa jalan karena hanya menojolkan moral (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/22/mengukur-peran-perda-penanggulangan-aids-ntt/).

Perda itu ibarat ‘macan kertas’ karena tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penyebaran HIV (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/05/pencegahan-normatif-dalam-perda-aids-ntt/).

Pemkab Ende harus melakukan intervensi agar penyebaran HIV tidak terus terjadi. Intervensi bisa dilakukan terhadap laki-laki ‘hidung belang’ yaitu kewajiban memakai kondom pada hubungan seksual berisiko (garis panah putus-putus). Yang lain adalah mewajibkan laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom jika sanggama dengan istrinya. Terakhir adalah melakukan pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (Lihat Gambar).

[caption id="attachment_94885" align="aligncenter" width="474" caption="Intervensi Pencegahan HIV di Kab Ende"][/caption]

Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS ini menunjukkan PSK itu melayani laki-laki tanpa kondom. Germo atau mucikari diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.

Celakanya, di Indonesia yang diberikan sanksi justru PSK. Padahal, posisi tawar PSK sangat lemah karena laki-laki ‘hidung belang’ akan memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.

Seperti yang dilakukan Pemkab Merauke, Papua, yang sudah memenjarakan beberapa PSK. Pemkab lupa kalau satu PSKditangkap maka posisinya akan diganti PSK ‘baru’. Begitu seterunya. Lagi pula laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK itu tidak terjamah sehingga terus menjadi mata rantai penyebaran IMS. Kalau laki-laki itu juga mengidap HIV maka sekaligus dia juga sebagai penyebar HIV.

Sudah saatnya penanggulangan HIV/AIDS dilakukan dengan cara-cara yang konkret agar mata rantai penyebaran HIV bisa diputuskan. Jika tidak diatasi maka kasus-kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun