Ketua Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Batam, Pieter Pureklolong, memakai rumus secara ‘telanjang’ untuk menghitung kasus HIV/AIDS yang riil di masyarakat. Menurut Pieter, rasio penderita HIV 1:100, dan rasio AIDS 1:200. Artinya, jika ada satu orang yang terdeteksi HIV, diperkirakan ada 100 yang tidak terdeteksi. Pieter mengatakan: "Itu rumus dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memperkirakan jumlah penderita HIV-AIDS." (Seratusan Penderita AIDS di Batam tak Terdeteksi, www.republika.co.id, 13/11-2011).
‘Rumus’ WHO tsb. tidak bisa dipakai secara ‘telanjang’ karena ada beberapa faktor yang harus dipenuhi, al. tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, tingkat kesehatan masyarakat rendah, dll. Lagi pula ‘rumus’ itu hanya untuk keperluan epidemiologi, misalnya, untuk merancang program penanggulangan, penyediaan sarana kesehatan, dll.
Epidemi HIV memang erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat, tapi tidak ada rumus yang bisa memastikan jumlah kasus yang tidak terdeteksi berdasarkan kasus yang terdeteksi.
Sejak Januari sampai September 2011 terdeteksi 271 kasus HIV/AIDS baru di Kota Batam, Prov Kepulauan Riau (Kepri). Biar pun itu kasus baru bukan berarti mereka baru tertular karena seseorang terdeteksi HIV pada masa AIDS rata-rata sudah tertular antara 5 – 15 tahun sebelumnya. Dari 271 kasus HIV/AIDS tsb. disebutkan ada 101 kasus yang terdeteksi pada masa AIDS. Sebelum terdeteksi 101 pengidap HIV/AIDS itu sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Disebutkan oleh Pieter: "Dari awal tahun hingga September ada 271 penderita 'human immunodeficiency virus' (HIV) di Batam. Sebanyak 101 positif 'acquired immunodeficiency syndrome' (AIDS)." Kalau kutipan ini benar pernyataan Pieter, maka sangat disayangkan karena yang positif adalah HIV bukan AIDS.
Sejak 1992 sudah terdeteksi lebih dari 1.600 kasus HIV/AIDS pada warga Batam dengan usia rata-rata 20-49 tahun. Tingkat kematian penduduk karena penyakit terkait AIDS dikabarkan pada tahun 2009 yang meninggal 36, 2010 yang meninggal 43, dan samp[ai September 2011 tercatat 49 yang meninggal.
Sayang, Pieter dan wartawan yang menulis berita tsb. tidak membawa data kematian itu ke realitas sosial. Soalnya, kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular. Pada rentang waktu itu tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS sehingga mereka tidak menyadari dirinya mengidap HIV. Akibatnya, mereka pun menularkan HIV kepada orang lain juga tanpa mereka sadari.
Disebutkan pula oleh Pieter: "Hubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) menjadi faktor utama perkembangan HIV di Batam dengan prosentase mencapai 42 persen."
Pernyataan Pieter di atas menunjukkan ada fakta yang luput dari perhatian, yaitu:
(a) Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki dewasa penduduk lokal dan wisatawan. Penduduk lokal yang menularkan HV kepada PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari.
(b) Ada lagi laki-laki yang tertular dari PSK yang sudah ditulari HIV oleh laki-laki. Pada akhirnya laki-laki ini pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari.
Penyebaran HIV di Batam pun didorong pula oleh hubungan seksual di dalam nikah yang dilakukan oleh laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK.
Selain itu hubungan seksual antara laki-laki dengan PSK tidak langsung, seperti ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, dll., serta perempuan pelaku kawin cerai juga mendorong penyebaran HIV. Di Sulawesi Selatan dan Bali dikabarkan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).
Ketika epidemi HIV sudah ada di masyarakat, yang ditunjukkan dengan penemuan kasus demi kasus, pernyataan dari berbagai kalangan yang menjadi sumber berita justru memberikan cara-cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.
Begitu pula dengan Perda AIDS Kepri sama sekali tidak memberikan langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS karena hanya mengumbar moral (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/24/menakar-efektivitas-perda-aids-provinsi-kepulauan-riau/).
Batam sendiri sudah diperkirakan akan menadi ‘pintu masuk’ penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Selain karena banyak laki-laki dari Singapura dan Malaysia yang ‘wisata seks’ ke Batam, PSK di di Batam pun datang dari berbagai daerah di Nusantara (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/07/batam-bisa-jadi-%E2%80%9Dpintu-masuk%E2%80%9D-epidemi-hivaids-nasional/).
Dari Indramayu, Jabar, misalnya, ada 6.800 perempuan asal daerah itu yang ‘beroperasi’ sebagai PSK di Batam (Harian “Pikiran Rakyat”, Bandung, 11/11-2005). Jumlah ini belum termasuk PSK yang berasal dari daerah lain.
Celakanya, langkah yang ditempuh Pemprov Kepri untuk menanggulangi HIV/AIDS hanya dengan memulangkan PSK yang terdeteksi HIV. PSK yang mengidap HIV boleh pulang, tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK itu dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK tadi justru menjadi mata rantai sebagai penyebar HIV di Batam. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H