“Meningkatnya penderita HIV/AIDS (ODHA) di daerah selatan Yogyakarta itu, menurut Hj Siti Noor Afifah, Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, akibat maraknya wanita penjaja seks atau pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di daerah tersebut.” (Penderita HIV/AIDS Di Bantul Meningkat, suaramerdeka.com, 16/11- 2011).
Pertanyaan Siti itu merupakan salah satu bentuk penyangkalan terkait dengan perilaku laki-laki dan perempuan dewasa penduduk Bantul. Ada beberapa hal yang fakta terkait dengan pernyataan Siti tsb.
Pertama, biar pun di Bantul tidak ada pekerja seks bisa saja laki-laki dewasa penduduk Bantul melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di luar Bantul. Laki-laki yang tertular HIV di luar Bantul akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Bantul, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, ada kemungkinan HIV pada pekerja seks di Bantul justru ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Bantul. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, dll. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah secara horizontal di masyarakat.
Ketiga, ada pula kemungkinan pekerja seks yang beroperasi di Bantul sudah mengidap HIV sehingga laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Bantul yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks berisiko tertular HIV. Laki-laki ini pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah secara horizontal di masyarakat.
Keempat, praktek pekerja seks di Bantul membuktikan Peraturan Daerah Bantul Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pelarangan Prostitusi tidak bisa memupus (praktek) pelacuran. Yang disasar hanya pekerja seks langsung di lokasi atau jalanan. Pekerja seks tidak langsung yang beroperasi melalui jaringan tidak bisa dihentikan.
Kelima, terkait dengan (praktek) pelacuran keselahan terletak pada laki-laki ‘hidung belang’ bukan pekerja seks karena yang mencari pekerja seks justru laki-laki ‘hidung belang’. Di negara-negara yang tidak lokasi atau lokalisasi pelacuran pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS, seperti Arab Saudi yang sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.
Dikabarkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Bantul per Juni 2011 mencapai 178 yang terdiri atas 101 HIV dan 77 AIDS dengan 25 kematian.
Disebutkan: “ …. 25 orang diantaranya meninggal karena AIDS.”Pernyataan ini ngawur bin ngaco karena HIV dan AIDS tidak mematikan. Kematian pada Odha terjadi karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Disebutkan: “Adanya peningkatan WTS di Bantul, kata dia, sangat mempengaruhi jumlah HIV/AIDS di daerahnya.''
Tidak ada kaitan langsung antara peningkatan WTS dengan jumlah kasus HIV/AIDS. Yang mempengaruhi penyebaran HIV adalah perilaku laki-laki dewasa. Laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Pernyatan Siti itu lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif tentang epidemi HIV. Selama penanganan tetap mencari kambing hitam dan dilakukan dengan balutan moral, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi.
Pemkab Bantul tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H