Ini pernyataan Ketut Sukanata, anggota Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Prov Bali: "Secara kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 2007 hingga akhir 2011 di Bali meningkat cukup signifikan (tajam). Pada tahun 2010 warga yang terjangkit sebanyak 4.210, sedangkan akhir 2011 terjangkit sebanyak 5.222 orang." (Kasus HIV/AIDS di Bali Meninggat Tajam, www.berita8.com, 6/3-2012).
Jika dilihat dari tanda kutip pada pernyataan itu menunjukkan pernyataan itu kutipan langsung. Tapi, orang awam yang tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS akan menangkap arti yang lain dari pernyataan itu.
Soalnya, pernyataan itu mengesankan pada tahun 2010 ada 4.210 penduduk Bali dan tahun 2011 ada 5.222 lagi penduduk Bali yang tertular HIV. Padahal, angka-angka itu merupakan jumlah kasus HIV/AIDS secara kumulatif yaitu kasus pada tahun 2010 adalah kasus dari tahun 1987 sampai tahun 2009 ditambah dengan kasus yang terdeteksi pada tahun 2010. Begitu pula dengan angka tahun 2011 merupakan jumlah kasus tahun 1987 sampai 2010 ditambah dengan kasus 2011.
Maka, angka pada laporan kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun bukan peningkatan, tapi penambahan terhadap kasus lama dengan kasus yang baru terdeteksi.
Kasus yang baru terdeteksi bisa melalui berbagai cara, misalnya, pada pasien yang berobat atau dirawat di rumah sakit. Karena penyakit sulit sembuh maka dokter menganjurkan tes HIV karena penyakit tsb. terkait dengan HIV/AIDS. Ada pula yang tes di klinik-klinik VCT karena telah mendapatkan penyuluhan atau dibawa oleh LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Kasus-kasus yang baru terdeteksi itu sendiri bukanlah kasus yang baru tertular. Jika terdeteksi ketika berobat atau dirawat di rumah sakit berarti mereka sudah mencapai masa AIDS yaitu sudah tertular antara 5 – 15 tahun sebelumnya.
Sebaran kasus HIV/AIDS yang sudah terdeteksi di Prov Bali menunjukkan semua daerah sudah ada kasus. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Bali priode tahun 1987-2011 tercatat semua daerah (Lihat Tabel).
Maka, yang perlu diperhatikan oleh KPA dan dinas-dinas kesehatan di Bali adalah kemungkinan bahwa orang-orang yang terdeteksi HIV sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Misalnya, seorang laki-laki yang terdeteksi HIV akan menularkan HIV kepada istrinya atau perempuan lain, seperti pacar, selingkuhan atau pekerja seks.
Pemerintah Indonesia meyakinkan masyarakat bahwa HIV/AIDS pertama kali terdeteksi di Indonesia tahun 1987, yaitu ketika ada wisatawan Belanda yang meninggal di RS Sanglah Denpasar, Bali, dengan indikasi penyebat kematian karena penyakit terkait AIDS. Tapi, tahun 1988 ada orang Indonesia asli yang meninggal juga di rumah sakit yang sama. Jika mengacu ke statistik masa AIDS maka orang Indonesia itu sudah tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/03/menyoal-kapan-%E2%80%98kasus-aids-pertama%E2%80%99-di-indonesia/).
Disebutkan sejak 1987-2011 laporan kasus HIV/AIDS terbanyak dilaporkan di Kota Denpasar (Lihat Tabel). Sayang, tidak ada penjelasan tentang: (1) Mengapa banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi di Kota Denpasar? (2) Bagaimana kasus-kasus itu terdeteksi?
Karena tidak ada penjelasan, maka ada kesan kasus HIV/AIDS hanya ‘berkecamuk’ di Kota Denpasar. Padahal, sebelum ada klinik VCT di daerah tes HIV hanya tersedia di RS Sanglah Denpasar sehingga kasus dari daerah pun dirujuk ke rumah sakit ini. Celakanya, kasus dari luar Kota Denpasar pun dicatat sebagai kasus di Kota Denpasar karena terdeteksi di RS Sanglah.
Untuk menanggapi epidemi HIV di Bali pemerintah daerah di sana menelurkan peraturan daerah (perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Sayang, dalam perda-perda itu tidak ada pasal yang menyebutkan cara pencegahan yang konkret (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/29/menyibak-perda-perda-penanggulangan-aids-di-bali/).
Berita di Bali TV menyebutkan “Berkembangnya penyebaran HIV/AIDS sebagai virus mematikan dan belum ditemukan obatnya ini terus mengancam kehidupan manusia, terutama bagi pekerja seks komersial. Bahkan diprediksi sekitar 25% PSK di Bali sudah terinfeksi virus HIV yang dapat mengancam kehidupan masyarakat Bali di masa mendatang (25% PSK Terinveksi HIV, AIDS Mengancam Bali, Bali TV, 4/3-2012).
Yang jadi persoalan bukan PSK, tapi perilaku laki-laki dewasa penduduk Bali. Biar pun 100 persen PSK di Bali mengidap HIV/AIDS kalau tidak ada laki-laki Bali yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tentulah tidak ada laki-laki Bali yang tertular HIV. Maka, kuncinya pada laki-laki Bali, bukan pada PSK. Berita itu mengedepankan sensasi dengan cara menjadikan PSK sebagai ‘kambing hitam’ penyebaran HIV. Padahal, yang menyebarkan HIV adalah laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Bali.
Bertolak dari pertambahan kasus HIV/AIDS banyak kalangan yang mengkhawatirkan P Bali akan menjadi ‘pulau AIDS’ (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/25/selamatkan-p-bali-agar-tidak-jadi-%E2%80%98pulau-aids%E2%80%99/).
Biar pun sudah ada kekhawatiran, tapi tanggapan yang muncul tetap saja tidak realistis (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2012/02/23/aids-di-bali-ditanggulangi-di-hilir/).
Dikabarkan bahwa kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada usia dengan rentang umur 20-29 yaitu 1.197. Ini amat logis karena pada usia itu dorongan seks (libido) sangat tinggi sehingga mereka mencari penyaluran. Celakanya, mereka tidak pernah menerima informasi yang akurat tentang cara-cara menyalurkan dorongan seksual yang aman agar terhindar dari IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamimida, hepatitis B, dll.) atau HIV, serta kehamilan. Dorongan seks tidak bisa disubtitusi dengan kegiatan lain. Selama ini informasi yang diterima remaja hanyalah pesan-pesan moral dalam bentuk jargon-jargon yang agamis.
Data yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar, dr Luh Putu Sri Armini, tentang jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu hamil yaitu 257 menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan lain, seperti pekerja seks, waria atau laki-laki.
Maka, data tentang HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menyangkal asumsi yang mengatakan (sosialisasi) kondom akan mendorong laki-laki berzina atau melacur. Kalau suami ibu-ibu hamil yang mengidap HIV/AIDS itu memakai kondom ketika melacur tentulah mereka tidak akan tertular HIV dari suami.
Masih menurut Kadis Kesehatan Kota Denpasar: “Oleh karena itu instansi terkait dan LSM peduli AIDS agar terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya dari penyakit mematikan ini.”
Yang perlu disosialisasikan bukan bahaya HIV/AIDS, tapi cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang konkret. Lagi pula, HIV/AIDS bukan penyakit mematikan karena belum ada laporan kematian karena HIV atau AIDS.
Disebutkan pula untuk mencegah meningkatkan penyakit tersebut, maka di kalangan generasi muda dibentuk kelompok kerja (pokja) baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat untuk menyosialisasikan pencegahan HIV/AIDS.
Pertanyaannya adalah: Apakah cara-cara pencegahan yang disampaikan oleh Pokja itu konret?
Kalau cara-cara pencegahan yang disampaikan hanya jargon-jargon moral, maka generasi muda tidak akan pernah mengetahui cara-cara melindungi diri yang realistis. Maka, jumlah remaja yang tertular HIV pun akan terus bertambah. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H