“Tingginya kasus HIV/AIDS di Kota Batam, disinyalir menjadi penyebab turunnya tingkat kunjungan wisatan mancanegara ke daerah ini.” Ini lead berita “HIV/AIDS Turunkan Kunjungan Wisman ke Kota Batam” (www.mediaindonesia.com, 2/11-2011).
Pernyataan itu menyesatkan karena wisatawan manca negara justru selalu ingin mengetahui semua informasi secara detil dan akurat tentang daerah yang akan mereka singgahi. Buktinya, pariwisata Thailand tidak pernah surut biar pun kasus HIV/AIDS di sana mendekati angka 1.000.000.
Yang dikhawatirkan justru sebaliknya. Wisatawan enggan ke Batam karena selama ini merasa tertipu karena tidak ada informasi yang akurat tentang kasus HIV/AIDS.
Dikabarkan kunjungan wisman ke Batam pada periode Januari-September 2011 tercatat 734.808, sedangkan para priode yang sama tahun 2010 sebanyak 1,2 juta. Apakah Kantor Dinas Pariwisata menganalisis penurunan ini dengan parameter yang konkret?
HIV/AIDS di Batam dan Kepulauan Riau (Kepri) sejak lama sudah jadi perhatian. Lihat saja Singapura yang mewajibkan laki-laki beristri tes HIV jika bekerja atau piknik ke Batam dan Kepri. Akibat aturan itu terjadi lonjakan tes HIV anonim di Singapura. (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/07/batam-bisa-jadi-%E2%80%9Dpintu-masuk%E2%80%9D-epidemi-hivaids-nasional/).
Seorang dokter praktek swasta di Batam tidak habis piker atas jawaban dua perempuan kakak beradik berpakaian dengan penutup kepala. Perempuan ini menolak diagnosis dokter yang menyebutkan mereka berdua tertular IMS (infeksi menular seksual). Mereka merasa bukan pekerja seks. Rupanya, dua perempuan itu simpanan seorang laki-laki WN Malaysia.
Dokter lain yang tergabung di sebuah LSM di sebuah lokasi pelacuran di Batam tidak habis pikir karena rata-rata pekerja seks di sana tertular IMS antara 2-5 penyakit. “Saya bingung mana yang diobati duluan,” kata dokter itu.
Bahkan, ada pekerja seks yang ‘kehilangan’ klitoris karena digigit turis Korsel. Pekerja seks ini pun ditampung di YMKK, sebuah LSM yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi di Batam. Beberapa pekerja seks yang ditampung di LSM itu mengaku biar pun sedang sakit, keputihan, menstruasi, dll. selalu dipaksa oleh ‘mami’ meladeni laki-laki.
Ini pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Kota Batam, Yusfa Hendri "Kami prihatin dengan masalah HIV/AIDS. Untuk itu, kami mewajibkan pengusaha tempat hiburan yang berisiko penyebaran HIV/AIDS di daerah ini untuk memeriksakan pekerjanya secara berkala setiap bulan."
Ya, mobilitas pekerja hiburan sangat tinggi sehingga mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu kota ke kota lain. Lagi pula pada rentang waktu satu bulan sudah berapa pekerja hiburan yang tertular HIV dan sudah banyak pula laki-laki yang tertular HIV (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/11/02/penanggulangan-hivaids-di-kota-batam-kepri-tidak-konkret/).
Yang perlu dilakukan adalah regulasi berupa melokalisir kegiatan pelacuran sehingga bisa diterapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang sanggama dengan pekerja hiburan atau pekerja seks.
Pemkot Batam sendiri tidak konsekuen terkait dengan regulasi pelacuran. Tidak ada lokalisasi pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat.
YMKK Batam pernah mengusulkan agar Pemkot Batam menyisihka dana dari sektor hiburan untuk biaya pengobatan dan penangangan pekerja seks yang bermasalah. Tapi, usul itu ditolak.
Jika penanggulangan hanya sebatas yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kota Batam itu, maka penyebaran HIV akan terus terjadi. Tinggal menunggu waktu saja untuk memetik hasil dari ‘ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H