Surat Terbuka untuk Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Depkes. Bagian IV
Sebagai fakta medis kalangan pakar sudah menemukan cara-cara penularan HIV sesuai dengan teknologi kedokteran setelah virus penyebab AIDS dapat diidentifikasi tahun 1983. Tetapi, karena selama ini masalah HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan agama dan moral maka fakta yang objektif seputar HIV/AIDS pun hilang sehingga yang muncul kemudian justru mitos (anggapan yang keliru).
Hal di atas dapat disimak pada buku Pedoman Penyuluhan AIDS Menurut Agama Islam yang diterbitkan Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan (Cetakan III 1996/1997) melalui pernyataan "Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa musibah berupa penyakit AIDS, boleh jadi sebagai peringatan, kutukan dan adzab Allah terhadap manusia yang hidup serba bebas (huruf tebal dari penulis-Red.), mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai agama" (halaman 31). Karena virus merupakan jasad renik yang ada di alam semesta tentulah virus tidak khusus diciptakan Yang Maha Kuasa untuk mengutuk umatnya. HIV sama saja dengan bakteri, basil atau virus lain yang juga merupakan jasad renik.
Dalam hal ini tim penulis buku sudah membawa pembaca ke alam mitos karena hanya AIDS yang dikaitkan dengan peringatan, kutukan dan adzab. Karena penyakit lain pun, seperti TB, hepatitis B dan lain-lain juga disebabkan basil, virus dan lain-lain tentulah penyakit itu juga merupakan peringatan, kutukan dan adzab Tuhan.
Jika penyebaran AIDS dikaitkan dengan hidup yang serba bebas yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai agama maka orang-orang yang tidak hidup serba bebas dan yang tidak mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai agama tentu saja tidak akan mungkin tertular HIV. Ini logikanya. Tetapi, penulis buku ini rupanya melencengkan logika. Astagafirullah. Pengabaian logika dikemukakan melalui pernyataan "Dari situlah (maksudnya hidup bebas yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai agama-pen.) kemudian penyakit AIDS tersebar lebih meluas, tidak saja pada orang-orang yang melakukan penyimpangan dalam hubungan seksual seperti zina, homoseks ataupun penyimpangan lainnya, tetapi pada orang lain yang mungkin tidak melakukan penyimpangan hubungan seksual itu."
Pada beberapa bagian dalam buku logika jalan, seperti keterangan mengenai cara-cara penularan. Tetapi, pada bagian lain logika kembali dijungkirbalikkan sehingga fakta medis diabaikan. Pada halaman 31 disebutkan penularan melalui transfusi darah dan alat suntik dapat diatasi secara medis, namun pada bagian lain disebutkan "Tetapi cara penularan yang pertama, yaitu melalui hubungan seksual mengalami kesulitan dalam mengatasinya karena menyangkut sikap hidup dan perilaku manusia." Pernyataan ini sudah mengabaikan teknologi kedokteran yang dapat mencegah penularan HIV dan penyakit lain, seperti PMS dan hepatitis B, melalui hubungan seks.
Secara teoritis pencegahan melalui hubungan seks justru jauh lebih mudah daripada pencegahan melalui transfusi darah karena pada hubungan seks seseorang dapat melindungi dirinya sendiri dan pasangannya secara aktif. Sedangkan melalui transfusi darah seseorang yang menerima transfusi tidak dapat melindungi dirinya sendiri secara aktif. Dalam hubungan seks yang perlu dihindarkan adalah kontak darah, sperma dan cairan vagina antara seseorang yang HIV-positif dengan orang lain yang HIV-negatif. Kontak ini dapat dicegah dengan menggunakan kondom lateks saat melakukan hubungan seks di dalam maupun di luar nikah, baik seks vagina, anal dan oral.
Pencegahan infeksi HIV melalui hubungan seks dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat realistis, yaitu dengan memakai kondom ketika melakukan hubungan seks terutama dengan pasangan yang berganti-ganti baik di dalam maupun di luar nikah. Karena pencegahan melalui hubungan seks dikategorikan dalam buku ini sulit, maka "Pada segi inilah pendekatan agama multak diperlukan." Namun, tidak dijelaskan bagaimana (pendekatan) agama dapat mencegah penularan HIV melalui hubungan seks.
Sebagai virus, HIV tidak (bisa) menyerang karena virus ini hanya bisa hidup dalam darah, sperma dan cairan vagina. Karena virus ini pun tidak bisa meninggalkan cairan-cairan tersebut maka ketika sperma ditampung dalam kondom, HIV pun terperangkap pula dalam kondom tersebut. Namun, di halaman 31 disebutkan AIDS menyerang.
Dari aspek medis dibuktikan penularan HIV terjadi karena ada kontak cairan tubuh yang mengandung HIV, antara lain melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom). Jadi, biar pun hubungan seks dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah tetap saja akan terjadi penularan HIV jika salah satu pasangan tersebut HIV-positif. Jadi, pencegahan secara khusus yang disebutkan dalam buku ini yaitu "hubungan seksual hanya dengan istri sendiri, dan menghindarkan hubungan seksual di luar nikah" tidak realistis.
Soalnya, penularan terjadi bukan karena hubungan seks dilakukan dengan yang bukan istri atau di luar nikah tetapi salah satu pasangan itu sudah HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa memakai kondom. Ini faktanya. Selain itu apa pun jenis hubungan seks (heteroseks atau homoseks) dan sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah) tetap tidak akan terjadi penularan HIV jika kedua pasangan itu HIV-negatif. Sebaliknya, jika salah satu pasangan HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa kondom maka kemungkinan tertular tetap ada. Hal ini sudah terbukti melalui penemuan kasus infeksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Tentu saja mereka (hanya) melakukan hubungan seks dengan suaminya karena mereka terikat dalam perkawinan yang sah.
Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan penyalahgunaan narkoba. Maka, anjuran untuk mencegah penularan HIV "Hindarkan penyalahgunaan narkotika, lebih-lebih bila menggunakan suntikan" (halaman 34) tidak realistis. Penularan terjadi jika pengguna narkoba memakai jarum dan semprit yang sudah tercemar HIV. Kalau jarum dan semprit tidak tercemar HIV maka tidak akan terjadi penularan HIV biar pun dipakai untuk menyuntikkan narkoba. Apalagi penggunaan narkoba secara oral jelas tidak akan menimbulkan infeksi HIV.
[Sumber: Syaiful W. Harahap, Newsletter HindarAIDS No. 59, 18 Desember 2000]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H