Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

AIDS Bukan Pembunuh Terselubung

29 Agustus 2013   08:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:40 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta (15/10-2002) - KESAN pertama yang saya peroleh ketika membaca judul headline Harian “Suara Pembaruan Minggu” edisi 13 Oktober 2002 “Silent Killer Mengintai Kita” adalah anggapan yang salah (mitos) tentang HIV/AIDS.

Dalam berita disebutkan Freddie Mercury dan Magic Johnson terinfeksi HIV karena perilaku seks bebas. Tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks terjadi karena seseorang melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam atau di luar pernikahan. Sebaliknya, walaupun hubungan seks dilakukan di luar pernikahan (zina) kalau keduanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV.

Istilah ‘seks bebas’ ngawur. Kalau ‘seks bebas’ merupakan terjemahan dari free sex maka dalam kamus-kamus bahasa Inggris tidak ada entry free sex. Yang ada hanya free love (The Random House Dictionary, TIME, 1980) yaitu kebiasaan yang mengizinkan hubungan seks tanpa ikatan nikah yang sah. Lagi pula dalam berita itu tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’.

Pada bagian lain disebutkan “ …. 20 juta dari mereka telah meninggal karena AIDS”. Ini pun tidak akurat karena AIDS tidak bisa membunuh seseorang karena AIDS bukan penyakit tetapi suatu kondisi pada seseorang yang terinfeksi HIV. Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV.

Pada masa AIDS seseorang sangat mudah diserang berbagai penyakit baik yang disebabkan kuman, bakteri, basil maupun virus. Jadi, yang bisa mematikan seseorang yang sudah mencapai masa AIDS adalah penyakit-penyakit yang menyerang pada masa AIDS yang disebut sebagai infeksi oportunistik. Infeksi ini tidak hanya terjadi pada Odha (Orang yang hidup dengan HIV/AIDS) karena HIV tetapi juga pada orang-orang yang sistem kekebalan tubunnya turun karena penyakit lain.

Memang, kasus HIV/AIDS terbesar di Afrika, tetapi ada fakta lain yang tidak dikemukakan yaitu sejak awal tahun 1990-an kasus infeksi baru di kalangan dewasa di Afrika, Eropa, Oseania dan Amerika mulai mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Sebaliknya, di kasawasan Asia kasus baru di kalangan dewasa justru meroket (AIDS No Time for Complacency, WHO Regional Office for South-East Asia, New Delhi, 1997).

Hal itu bisa terjadi karena penduduk di kawasan Afrika, Eropa, Oseania dan Amerika sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu:

(1) Melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki).

(2) Melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar pernikahan yang sah.

(3) Menerima transfusi darah.

(4) Memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Obat Antiretroviral

HIV adalah fakta medis sehingga hanya dapat didiagnosis melalui tes darah. Maka, pernyataan staf World Vision Indonesia, “ …. dari pemeriksaan awal positif HIV” tidak akurat karena dalam tes HIV tidak dikenal pemeriksaan awal atau akhir. Yang ada adalah tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, kalau tes pertama dilakukan dengan ELISA maka konfirmasinya dilakukan dengan tes Western blot. Itulah sebabnya hasil tes dari survailans, misalnya terhadap pekerja seks, tidak dapat dijadikan patokan karena hasilnya belum dikonfirmasi. Hasil itu hanya berguna untuk mengetahui angka prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan yang HIV-negatif pada kalangan tertentu pada kurun waktu yang tertentu pula).

Sampai sekarang bukan hanya HIV/AIDS yang belum ada vaksin dan obatnya. Banyak penyakit yang belum ada vaksin dan obatnya. Seperti diabetes, demam berdarah, dll. Lagi pula sampai sekarang belum ada obat yang dapat membunuh virus. Yang ada hanyalah melumpuhkan virus. Obat untuk melumpuhkan HIV juga sudah lama ada yang dikenal sebagai obat antiretroviral. Yang lebih tepat adalah HIV/AIDS belum bisa disembuhkan, seperti halnya diabetes, darah tinggi, dll.

Memang, kasus terkait AIDS pertama kali dideteksi pada turis di Bali (1987), tetapi setehun kemudian ada penduduk asli Indonesia yang juga meninggal karena penyakit terkait AIDS di Bali (1988). Kalau rentang waktu dari terinfeksi sampai masa AIDS antara 5-10 tahun maka epidemi HIV sudah ada di Indonesia antara tahun 1978 dan 1983.

Pengungkapan kasus HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting drug use/IDU) terjadi karena setiap pengguna narkoba yang akan masuk pusat rehabilitas narkotik diwajibkan menjalani tes HIV. Inilah yang membuat lonjakan angka dari kalangan pengguna narkoba. Ada persoalan lain di balik fakta ini yaitu: Dari mana sebenarnya mereka tertular HIV: melalui penggunaan jarum suntik yang bergantian atau melalui hubungan seks yang tidak aman? Bisa jadi di antara mereka ada yang tertular dari hubungan seks yang tidak aman. Kalau perempuan mungkin bisa dibuktikan mereka tertular melalui jarum suntik kalau yang bersangkutan masih perawan. Tetapi, laki-laki, bagaimana membuktikannya?

Sedangkan kasus HIV/AIDS di luar pengguna narkoba tidak bisa deteksi karena tidak ada gejala-gejala yang khas. Deteksi baru terjadi kalau seseorang sudah mencapai masa AIDS. Padahal, risiko penularan melalui hubungan seks sangat besar karena frekuensi hubungan seks sangat tinggi. Dalam berita itu disebutkan ada 74 juga aktivitas seks yang berisiko.

Namun, perlu diingat hubungan seks yang berisiko tertular HIV bukan hanya ‘jajan’ karena penularan HIV tidak tergantung kepada sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah) tetapi kondisi hubungan seks (aman atau tidak aman). Hubugnan seks yang aman adalah (1) Menghindarkan diri dari melakukan hubungan seks penetrasi tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar nikah; (2) Menghindarkan diri dari melakukan hubungan seks penetrasi tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan (seperti pekerja seks, atau perempuan yang sering kawin-cerai) di dalam atau di luar nikah.

Masa Jendela

1377738177784462602
1377738177784462602

Transfusi darah merupakan salah satu kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV (Pedoman Mengurangi Dampak Buruk Narkoba di Asia, Edisi Indonesia, The Centre for Harm Reduction, Macfarlane Burnet Centre for Medical Research and Asian Harm Reduction Network, 2001).

Biar pun darah yang akan ditransfusikan sudah diskrining tetap ada risiko karena kalau seseorang yang tertular HIV (yang bersangkutan tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV) mendonorkan darahnya pada masa jendela (window priod) yaitu rentang waktu di bawah enam bulan sejak tertular maka hasil skrining bisa negatif palsu. Artinya, darah yang bersangkutan sudah tercemar HIV tetapi tidak bisa dideteksi oleh tes yang dipakai untuk skrining HIV. Jadi, jika seseorang memerlukan darah untuk transfusi akan lebih baik kalau mencari sanak saudara yang bisa dijamin jauh dari perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Di Malaysia seorang perempuan guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah (2000). Perempuan ini menuntut pemerintah 100 juta ringgit dan pengobatan gratis sepanjang hidupnya. Untuk menghindarkan kejadian yang sama pemerintah Malaysia menerapkan standar baku laboratorium melalui ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories) yang dikeluarkan ISO (International Organization for Standardization) yaitu badan internasional yang menelurkan standar mutu (Hak Bebas HIV Melalui Transfusi Darah, Harian ”Suara Pembaruan”, 1/12-2000).

HIV/AIDS bukan silent killer (pembunuh terselubung) karena HIV adalah virus yang merupakan fakta medis dan dapat dicegah penularannya melalui cara-cara yang sangat realistis. Persoalannya adalah selama ini fakta (medis) tentang HIV/AIDS sering hilang dan digelapkan karena HIV/AIDS dibicarakan dan diberitakan dari aspek agama dan moral yang sama sekali tidak ada kaitanya secara langsung dengan HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, dll. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara pelacuran dengan HIV karena hubungan seks yang berisiko tinggi tertular HIV tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran. Buktinya, di negara-negara yang tidak ada lokalisasi pelacuran pun ada kasus HIV/AIDS.

Akibatnya, mitos seputar HIV/AIDS pun tumbuh subur di masyarakat sehingga mereka lalai melindungi diri yaitu menghindarkan diri dari kegiatan berisiko tertular HIV. Padahal, dengan menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV sudah merupakan cara yang realistis untuk mencegah agar seseorang tidak tertular HIV.

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

[Sumber: http://www.aidsindonesia.com/2013/08/aids-bukan-pembunuh-terselubung.html]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun