HIV/AIDSÂ yang sejatinya fakta medis, tapi pemerintah dan banyak kalangan di Indonesia justru membawanya ke ranah norma, moral dan agama suburkan stigma.
Entah siapa yang memulai melakukan eufemisme (KBBI: ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan) terkait dengan zina jadi seks bebas, yang jelas terminologi yang sarat dengan orasi moral itu jadi biang kerok stigmatisasi (KBBI: pencirian negatif pada seseorang) terhadap Orang dengan HIV/AIDS (Odha).
Jauh sebelumnya ketika pemerintah mengakui ada epidemi HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 1987, secara global epidemi mulai 1981, pemerintah kala itu justru membawa HIV/AIDS yang merupakan fakta medis ke ranah norma, moral dan agama.
Baca juga: Menyoal Kapan Kasus HIV/AIDS Pertama Ada di Indonesia (Kompasiana, 3 Januari 2011)
Mulai dari mengatakan HIV/AIDS penyakit 'orang homo,' penyakit orang bule, penyakit akibat zina dan seterusnya.
Pelabelan yang negatif itu membuat banyak orang di Tanah Air mengaitkan perilaku Odha dengan hal-hal yang melawan norma, moral dan agama sehingga tertular HIV/AIDS.
Bagi banyak orang seks bebas adalah perbuatan yang melawan norma, moral dan agama bahkan hukum sehingga menohok warga yang terinfeksi HIV/AIDS sebagai orang yang tidak mengindahkan norma dan melawan moral serta agama. Celakanya, label ini diberikan kepada semua Odha yang dikaitkan dengan seks bebas.
Padahal, kalau seks bebas diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah atau zina, maka:
- Pasangan kumpul kebo sudah jadi Odha
- Pasangan yang menikah karena hamil duluan sudah jadi Odha
- Pasangan selingkuh sudah jadi Odha
- Orang-orang yang pernah zina sudah jadi Odha
- Orang-orang yang pernah melacur sudah jadi Odha
Faktanya? Tidak!
Tapi, karena sumbernya dari instansi dan terus disampaikan berulang-ulang kali, maka masyarakat pun percaya seks bebas adalah penyebab (penularan) HIV/AIDS. Itu artinya stigma terhadap Odha tidak bisa lagi dikikis. Itu artinya pemakaian istilah seks bebas jadi kontra produktif untuk penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Air.
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sangat mendesak karena Indonesia memiliki jumlah infeksi HIV baru terbesar keempat per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) memperkirakan bahwa di Indonesia 73.000 kasus infeksi HIV baru per tahun, hanya tertinggal dari China, India, dan Rusia (aidsmap.com, 2018).
Laporan "Website HIV PIMS Indonesia" menunjukkan tahun 2023 saja Indonesia mencatat 57.299 kasus infeksi HIV baru. Angka ini tidak jauh dari perkiraan WHO. Sedangkan kasus infeksi HIV dari tahun 1987 -- Desember 2023 dilaporkan sebanyak 566.707.
Lagi pula angka tersebut tidak menggambarkan jumlah yang sebenarnya karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Celakanya, alih-alih bikin program penanggulangan infeksi HIV di hulu dengan cara-cara yang konkret, pemerintah justru menyubuakan stigma dengan membawa penularan HIV/AIDS ke ranah norma, moral dan agama dengan mengaitkan seks bebas sebagai penyebab HIV/AIDS.
Maka, tanpa program penanggulangan infeksi HIV di hulu dengan cara-cara yang konkret di 'Indonesia Emas' tahun 2045 yang diagung-agungkan pemerintah kasus infeksi HIV saja bisa mencapai 1.769.986, yaitu 1.203.279 kasus baru dari tahun 2024-2045 dengan asumsi infeksi baru 57.299 (angka ini sebenarnya bisa bertambah karena tidak ada program penanggulangan yang konkret) + 566.707 (kasus infeksi HIV 1987-Desember 2023).
Selain jadi beban pemerintah untuk menyediakan obat antiretroviral (ARV) gratis bagi Odha juga mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM).
Selain didera stigma kalangan Odha pun menerima diskriminasi [KBBI: pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya)], bahkan yang sangat disayangkan justru terjadi di sarana kesehatan pemerintah, seperti Puskesmas dan rumah-rumah sakit (RS).
Baca juga: Stigma dan Diskriminasi dalam Penanggulangan HIV/AIDS (Kompasiana, 22 Mei 2012)
Lengkaplah sudah penderitaan Odha yang berjuang menghadapi virus di dalam tubuhnya dengan serangan stigma dan diskriminasi di lingkungannya.
Seorang Odha perempuan di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), berkali-kali diusir dari tempat kosnya karena dikenal sebagai 'pengantin AIDS.' Rupanya, ketika Odha itu menikah jadi headline media cetak ketika itu sehingga dikenal luas sebagai 'pengantin AIDS' karena fotonya dipampang di halaman depan media cetak.
Baca juga: Berkali-kali Diusir dari Tempat Kos Karena Dikenal Sebagai "Pengantin AIDS" di Kota Makassar (Kompasiana, 9 Desember 2010)
Sedangkan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Jabar), ada dua Odha perempuan yang juga jadi korban stigma dan diskriminasi. Bahkan, salah satunya sampai hendak dibawa ke liang lahat masih mengalami diskriminasi.
Baca juga: Derita Panjang Seorang Odha di Karawang Sebelum Hembuskan Napas Terakhir (Kompasiana, 2 Desember 2010)
Yang satu lagi terpaksa pindah dari satu desa ke desa lain bersama orang tua dan saudara-saudaranya karena tidak mendapat tempat di lingkungannya. Deritanya dan keluarga baru berhenti setelah perempuan itu kembali menghadap YMK.
Baca juga: Media Massa Menceraiberaikan Keluarga Kartam di Karawang* (Kompasiana, 8 Desember 2010)
Itu hanya segelintir dampak dari pengaitan infeksi HIV dengan norma, moral dan agama. Padahal, seperti sering disampaikan (Alm) dr Kartono Mohamad, pernah jadi ketua PB IDI, penularan virus hepatitis B persis sama dan serupa dengan penularan HIV/AIDS: "Tapi, orang tidak malu mengatakan dia mengidap virus hepatitis B."
Kini, stigmatisasi kian masif, bahkan dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan jajarannya yaitu dinas-dinas kesehatan serta institusi dan instansi terkait dengan HIV/AIDS, yaitu dengan mengaitkan secara langsung penularan HIV/AIDS dengan seks bebas.
Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS (Kompasiana, 17 Mei 2022)
Padahal, secara empiris, dalam hal ini fakta medis, penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi bisa terjadi di dalam dan di luar nikah yaitu karena kondisi saat terjadi hubungan seksual penetrasi (oral, vaginal atau anal) yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Bahkan, judul-judul berita tentang HIV/AIDS di media massa dan media online/portal berita serta media sosial mengumbar seks bebas sebagai penyebab HIV/AIDS.
Media pun ikut mendorong stigma terhadap warga yang mengidap HIV/AIDS yang pada gilirannya juga meningkatkan diskriminasi terhadap warga dengan HIV/AIDS.
Di Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember 2024 yang lalu, misalnya, judul berita yang bersumber dari jajaran pemerintah mengumbar seks bebas sebagai penyebab HIV/AIDS.
Maka, sesumbar pemerintah dan jajarannya yang mengatakan nol kasus HIV baru pada tahun 2030 adalah utopia yang meninabobokkan masyarakat sehingga tetap berada di tepi jurang 'ledakan AIDS.' <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H