Tapi, karena sumbernya dari instansi dan terus disampaikan berulang-ulang kali, maka masyarakat pun percaya seks bebas adalah penyebab (penularan) HIV/AIDS. Itu artinya stigma terhadap Odha tidak bisa lagi dikikis. Itu artinya pemakaian istilah seks bebas jadi kontra produktif untuk penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Air.
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sangat mendesak karena Indonesia memiliki jumlah infeksi HIV baru terbesar keempat per tahun. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) memperkirakan bahwa di Indonesia 73.000 kasus infeksi HIV baru per tahun, hanya tertinggal dari China, India, dan Rusia (aidsmap.com, 2018).
Laporan "Website HIV PIMS Indonesia" menunjukkan tahun 2023 saja Indonesia mencatat 57.299 kasus infeksi HIV baru. Angka ini tidak jauh dari perkiraan WHO. Sedangkan kasus infeksi HIV dari tahun 1987 -- Desember 2023 dilaporkan sebanyak 566.707.
Lagi pula angka tersebut tidak menggambarkan jumlah yang sebenarnya karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Celakanya, alih-alih bikin program penanggulangan infeksi HIV di hulu dengan cara-cara yang konkret, pemerintah justru menyubuakan stigma dengan membawa penularan HIV/AIDS ke ranah norma, moral dan agama dengan mengaitkan seks bebas sebagai penyebab HIV/AIDS.
Maka, tanpa program penanggulangan infeksi HIV di hulu dengan cara-cara yang konkret di 'Indonesia Emas' tahun 2045 yang diagung-agungkan pemerintah kasus infeksi HIV saja bisa mencapai 1.769.986, yaitu 1.203.279 kasus baru dari tahun 2024-2045 dengan asumsi infeksi baru 57.299 (angka ini sebenarnya bisa bertambah karena tidak ada program penanggulangan yang konkret) + 566.707 (kasus infeksi HIV 1987-Desember 2023).
Selain jadi beban pemerintah untuk menyediakan obat antiretroviral (ARV) gratis bagi Odha juga mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM).
Selain didera stigma kalangan Odha pun menerima diskriminasi [KBBI: pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya)], bahkan yang sangat disayangkan justru terjadi di sarana kesehatan pemerintah, seperti Puskesmas dan rumah-rumah sakit (RS).
Baca juga: Stigma dan Diskriminasi dalam Penanggulangan HIV/AIDS (Kompasiana, 22 Mei 2012)