Era media sosial sekarang ini memungkinkan setiap orang bisa menayangkan tulisan melalui akun pribadi, seperti: Facebook, X (d/h. Twitter) atau platform blog tanpa ada 'sensor' baik dari pemerintah dan penanggungjawab media sosial atau blog.
Celakanya, karena tidak ada lagi 'sensor' belakangan ada segelintir orang yang memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarluaskan ujaran kebencian (hate speech), caci-maki, pelecehan, menghasut sampai pada informasi bohong (hoaks) yang bisa menimbulkan kegaduhan. Perlu diingat tidak ada berita bohong jika berpegang ada asas jurnalistik.
Dalam kaitan itulah sebagai penulis, dalam hal ini di media sosial, Mayor Kowal Dr Nani Kusmiyati tetap terikat dengan 'sensor' karena instansinya merupakan badan pemerintah, dalam hal ini TNI, sehingga ada rambu-rambu yang membuat Dr Nani tetap di koridor hukum ketika menayangkan tulisan.
Selain itu agar tulisan atau artikel di media sosial, platform atau blog bermanfaat, maka harus ada salah satu atau beberapa unsur ini (Ashadi Siregar, dkk., Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Paket 4, Jurnalistik, PT Karya Unipers, Jakarta, 1982), yaitu:
- Significance, peristiwa atau kejadian yang terkait langsung dengan harkat kehidupan orang banyak
- Magnitude, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan jumlah atau angka
- Timeliness, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan aktualitas, baru terjadi, baru ditemukan
- Proximity, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan kedekatan secara geografis atau psikologis
- Prominence, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan ketenaran
- Human interest, peristiwa atau kejadian yang terkait dengan kemanusiaan
Juga perlu ada (5 W + 1H):
5 W, yaitu:
1. Apa (What) yang terjadi
2. Siapa (-siapa) (Who) yang terlibat dalam kejadian
3. Kapan (When) kejadian terjadi
4. Di mana (Where) kejadian terjadi
5. Mengapa (Why) kejadian itu terjadi
1 H, yaitu:
6. Bagaimana (How) kejadian itu terjadi
Soalnya, sekarang begitu mudahnya menayangkan sesuatu, yaitu: apa yang diketahui atau apa yang ada di pikiran. Padahal, kalau berpegang pada kaidah jurnalistik yang layak jadi berita, reportase atau artikel adalah 'apa yang bisa dibuktikan secara empiris' dengan liputan berupa pengataman, wawancara dengan sumber yang kompeten dan sumber-sumber tertulis, seperti media cetak dan buku.
Alur berita, reportase dan artikel di media massa (surat kabar, majalah, radio dan TV) sangat panjang. Pada media yang mapan alurnya, seperti ini: reporter/korespoden-asisten redaktur-redaktur-penanggung jawab rubrik/halaman-redaktur pelasana-pemimpin redaksi. Naskah bisa pulang-balik, bahkan bisa bermuara di keranjang sampah.
Selain itu ada juga 'self cencorship' yang dipakai oleh wartawan untuk mengukur sendiri dampak, positif dan negatif, berita yang ditulisnya terhadap kelompok sasaran pembaca, bahkan terhadap masyarakat.