Data terbaru menunjukkan adanya 243 kasus aktif yang terdeteksi dari Januari hingga Oktober 2024. Yang lebih mengkhawatirkan, mayoritas penderita berada di usia produktif, rentang usia yang seharusnya menjadi pilar ekonomi dan sosial kota ini. Ini ada dalam berita "Kasus HIV/AIDS Melonjak, Dewan Desak Langkah Konkret Pemkot Surabaya" (radarsurabaya.jawapos.com, 17/11/2024).
Pertama, kasus yang terdeteksi pada Januari-Oktober 2024 sebanyak 243 tidak menggambarkan jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat. Hal ini terjadi karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Maka, yang jadi persoalan besar adalah langkah yang konkret tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk mendeteksi warga Kota Surabaya yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Soalnya, mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, karena mereka tidak menyadari kalau mereka tertular HIV/AIDS.
Hal di atas bisa terjadi karena orang-orang yang tertular HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART). Selain itu tidak pula ada keluhan kesehatan yang terkait langsung dengan HIV/AIDS.
Jika masih ada warga Kota Surabaya yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Surabaya akan terus terjadi secara diam-diam sebagai silent disaster (bencana terselubung) karena kelak penyebaran HIV/AIDS akan bermuara pada 'ledakan AIDS.'
Kedua, yang mengkhawatirkan adalah jika kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada lanjut usia (Lansia) dan bayi. Ketika 1 bayi terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka sudah ada 3 kasus HIV/AIDS, yaitu bayi, ibu yang melahirkan bayi terseut dan ayah si bayi atau suami ibu yang melahirkan bayi tersebut. Celakanya, tidak sedikit laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu sehingga jika suami mengidap HIV/AIDS, maka kian banyak istri yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Karena Anak Keduanya Lahir dengan HIV/AIDS (Kompasiana, 18 April 2018)
Sayang sekali, dalam berita tidak ada informasi tentang jumlah bayi dan ibu rumah tangga (istri) pengidap HIV/AIDS dan jumlah laki-laki dewasa (heteroseksual dan biseksual) yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Padahal, informasi tersebut merupakan human interest jika dieksplorasi wartawan dengan membawa fakta tersebut ke ranah social settings.
Disebutkan: Yang lebih mengkhawatirkan, mayoritas penderita berada di usia produktif, .... Ini merupakan realitas sosial jika berpijak pada fakta bahwa pada rentang usia produktif libido atau hasrat seksual sedang menggebu-gebu.
Bagi yang mempunyai pekerjaan mereka bisa membeli seks untuk menyalurkan libido dengan pekerja seks langsung (kasat mata) dan pekerja seks tidak langsung (tidak kasat mata).
Yang perlu diingat PSK ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan. Tapi, sejak reformasi ada gerakan moral menutup semua lokalisasi pelacuran di Indonesia sehingga lokaliasi pelacuran pun sekarang pindah ke media sosial. Transaksi seks pun dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekuasinya dilakukan sembarang waktu dan di sembarang tempat. PSK langsung pun akhirnya 'ganti baju' jadi PSK tidak langsung.
(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, pemandu lagu, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek PSK online. Transaksi seks terjadi melalui berbagai cara, antara lain melalui ponsel.
Persoalannya adalah informasi HIV/AIDS yang disebarkan melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, modal dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Baca juga: Kasus HIV/AIDS pada Remaja Akibat Materi KIE HIV/AIDS yang Hanya Mitos (Kompasiana, 25 Oktober 2022)
Misalnya, mengait-ngaitkan 'seks bebas' (istilah ini ngawur bin ngaco) dengan penularan HIV/AIDS. Padahal, secara empiris penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau kedua pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta!
Dalam berita ini pun ada mitos yaitu dalam pernyataan: Agus (Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Agus Mashuri-Pen.) mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama penyebab lonjakan kasus HIV/AIDS ini adalah penggunaan jarum suntik bersama dan perilaku seks bebas yang masih marak terjadi.
Kalau seks bebas yang dimaksud Agus adalah zina atau hubungan seksual di luar nikah, maka melakukan seks bebas tidak otomatis tertular HIV/AIDS karena kalau keduanya tidak mengidap HIV/AIDS maka pada zina tersebut tidak ada risiko penularan HIV/AIDS.
Disebutkan pula: Agus menekankan bahwa edukasi menjadi kunci utama dalam upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS.
Selama informasi tentang HIV/AIDS dalam KIE dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama maka informasi yang akurat sesuai fakta medis tidak akan sampai ke masyarakat karena yang disebarluaskan hanya mitos. Misalnya, menyebut penularan HIV/AIDS karena seks bebas (baca: zina).
Kalau benar seks bebas (zina) penyebab penularan HIV/AIDS, maka semua pasangan suami-istri yang hamil duluan sebelum menikah sudah tertular HIV/AIDS.
Faktanya: Tidak!
Maka, mengaitkan seks bebas dengan penularan HIV/AIDS adalah hoaks alias bohong.
Segencar apapun sosialisasi kalau hanya mitos itu tidak akan berguna karena yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS hanya orang per orang.
Baca juga: Hanya Orang per Orang yang Bisa Memutus Mata Rantai Penularan HIV/AIDS Melalui Hubungan Seksual (Kompasiana, 3 Juni 2024)
Kalaupun Pemkot Surabaya menutup tempat-tempat yang bisa terjadi transaksi seksual, itu pun tidak efektif karena bisa saja warga Kota Surabaya melalui perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS di luar Kota Surabaya bahkan di luar negeri.
Buktinya, Pemkot Surabaya 'menutup' Dolly, tapi kasus HIV/AIDS terus bertambah karena bisa saja praktek prostitusi beralih ke transaksi daring (dalam jaringan, seperti media sosial) yang justru tidak bisa diintervensi oleh pemerintah.
Baca juga: Pasca Penutupan "Dolly", Kasus HIV/AIDS (Akan) Banyak Terdeteksi pada Pegawai, Aparat dan Pengusaha (Kompasiana, 19 Juli 2014)
Karena mereka, yang tertular HIV/AIDS, tidak terdeteksi dan mereka tidak menyadari sudah mengidap HIV/AIDS, maka mereka menularkan HIV/AIDS tanpa mereka sadari.
Itu artinya kasus HIV/AIDS di Kota Surabaya akan terus bertambah jika tidak ada program yang komprehensif untuk menurunkan insiden infeks HIV di hulu dan mencari warga yang mengidap HIV/AIDS. <>
* Syaiful W Harahap adalah penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H