Maka, kita keblinger memilih STY hanya karena ilusi kemenangan Korsel yang mengalahkan Jerman. Bisa jadi STY bermimpi seperti Korsel untuk memenangkan laga dengan mengandalkan pemain naturalisasi di Timnas Indonesia.
Bayangkan, ".... sebanyak 14 pemain telah menjalani proses naturalisasi menjadi WNI." (kompas.com, 5/6/2024). Dengan 14 pemain naturalisasi di Timnas Indonesia itu artinya sudah lebih dari satu kesebelasan sehingga tidak perlu lagi pemain pribumi. Ironis.
Kondisi itu menunjukkan STY tidak melatih warga pribumi jadi pemain sepak bola karena dengan belasan pemain naturalisasi sudah cukup untuk berlaga di lapangan hijau.
Timnas di beberapa negara Eropa juga ada naturalisasi, tapi biasanya dari negara bekas jajahan mereka. Sedangkan pemain di klub-klub profesional  bertaburan pemain bayaran dari berbagai negara seantero bumi ini.
Lagi pula, kalau pesepakbola yang dinaturalisasi itu berkualitas, mengapa pulalah mereka mau bermain di Indonesia dengan bayaran rupiah, sementara di Eropa dengan euro dan pound sterling yang kursnya terhadap rupiah selangit. Atau ke klub-klub Liga Pro Saudi dengan bayaran petro dolar. Bahkan, pemain sekelas Cristiano Ronaldo memilih liga Arab Saudi daripada liga Eropa.
Sudah saatnya PSSI dan Kemenpora mengkaji ulang program naturalisasi pesepakbola karena dengan kondisi seperti sekarang tidak ada celah bagi pemain pribumi untuk memperoleh pelatihan agar bisa jadi pemain handal.
Kalau dana yang dipakai PSSI berasal dari APBN tentulah menyakitkan bagi putra-putra bangsa yang terhadang untuk jadi pesepakbola karena STY sebagai pelatih Timnas hanya memoles pemain naturalisasi. <>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H