Data di "Web Site Resmi HIV/AIDS dan PIMS Indonesia" menunjukkan kasus AIDS terbanyak ada pada rentang usia 20-39 tahun. Dari tahun 1987-Maret 2023 kasus AIDS terdeteksi pada kelompok umur 20-29 tahun sebesar 31,6% dan pada umur 30-39 tahun sebesar 31,3%.
Fakta di atas adalah realistis karena pada rentang usia 20-39 tahun libido (KBBI: nafsu berahi yang bersifat naluri) yaitu dorongan seksual sangat tinggi. Tidak ada substitusi atau pengganti untuk menyalurkannya selain melalui hubungan seksual. Biarpun ada 'swalayan' yaitu onani (laki-laki) dan masturbasi (perempuan), tapi tidak memenuhi hasrat sebagai penyaluran.
Ketika ada epidemi HIV/AIDS dan penyakit infeksi menular seksual (PIMS-GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, virus hepatitis B, klamidia dan lain-lain) hubungan seksual penetrasi (seks oral, vaginal, dan anal), di dalam dan di luar nikah, yang tidak aman (laki-laki tidak memakai kondom) ada risiko penularan HIV/AIDS dan PIMS.
Celakanya, informasi tentang HIV/AIDS serta PIMS selama ini selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS serta PIMS.
Baca juga: "ABAT" (Aku Bangga Aku Tahu) Tidak Memberikan Cara Pencegahan HIV/AIDS yang Eksplisit
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan seks pranikah, zina, seks bebas, pergaulagan bebas, pelacuran dan lain-lain. Padahal, secara faktual penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar ikatan pernikahan yang sah jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual. Ini fakta!
Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS
Berita tentang HIV/AIDS sering dikaitkan dengan remaja, tapi tidak memberikan pencerahan yaitu cara-cara pencegahan yang akurat.
Sebagian berita pun sensasional dan bombastis yang sudah mengarah ke omong kosong karena dengan mudah mengaitkan penularan dengan mitos.
Instansi dan institusi menyebut sosialisasi bahaya HIV/AIDS, padahal yang diperlukan adalah cara-cara yang realistis untuk melindungi diri (mencegah) agar tidak tertular HIV/AIDS atau PIMS atau keduanya sekaligus.