Di tahun 1990-an sebuah acara infotainment di salah satu stasiun TV swasta nasional menampilkan sosok seorang pemuda yang disebut sebagai 'pengidap HIV/AIDS.'
Harap maklum ketika itu HIV/AIDS masih di ranah kehebohan karena sebelumnya pemerintah selalu membantah ada HIV/AIDS di Indonesia.
Host acara itu menyebutkan ciri-ciri penyakit pemuda itu antara lain lemas yang ketika itu dikaitkan dengan ciri pengidap HIV/AIDS.
Tapi, apa lacur ternyata pemuda itu pasien Prof Beri (Prof dr Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM) di RSCM-FKUI, Jakarta Pusat, dengan diagnosis hepatitis B. Memang, gejala hepatitis B mirip dengan gejala infeksi HIV/AIDS.
Tapi, ada catatan yaitu gejala tersebut bisa terkait dengan HIV/AIDS jika yang bersangkutan pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) yang sekarang disebut prostitusi online karena lokalisasi pelacuran tidak ada lagi sejak reformasi.
Sayang, stasiun TV itu memberikan klarifikasi tengah malam sedangkan tayangan testimoni (pengakuan) pemuda itu pada jam tayang prime time. Akibatnya, banyak pemirsa yang menonton testimoni pemuda itu tidak mengikuti klarifikasi tayangan yang menyesatkan tersebut.
Itulah sebabnya (Alm) dr Kartono Mohamad, pernah jadi Ketua Uum PB IDI, dalam beberapa pertemuan untuk wawancara dan kegiatan lain selalu mengingatkan bahwa semua jenis penyakit yang memakai nama terminologi medis harus diperlakukan sebagai fakta medis yaitu diuji di laboratorim dengan teknologi kedokteran dengan diagnosis medis pula oleh dokter bukan dengan testimoni.
Itu artinya jika seseorang mengatakan dia mengidap penyakit X (terminologi medis) harus ada hasil laboratorium atau dengan diagnosis medis oleh dokter yang mempunyai kompetensi.
Begitu juga kalau seseorang mengatakan sembuh dari penyakit Y (terminologi medis), maka harus dibuktikan dengan hasil laboratorium dengan diagnosis medis oleh dokter yang mempunyai kompetensi bukan dengan testimoni.
Belakangan ini marak di media massa, terutama TV, media online dan media sosial yang menampilkan testimoni terkait dengan kesembuhan penyakit yang merupakan ranah medis.