Berita kejahatan atau kriminalitas di media massa (koran, majalah, TV dan radio) serta media sosial (portal berita) ternyata tidak membuat jera yang lain untuk berbuat kejahatan.
Malah yang terjadi justru replikasi (KBBI: perbuatan meniru) dan duplikasi (KBBI: perangkapan; perulangan)Â seperti mutilasi mayat korban pembunuhan, membuang mayat, membuang mayat dalam koper dan seterusnya.
Kejahatan jadi bagian dari aktivitas keseharian media yang bagi sebagian media menjadikannya sebagai berita yang sensasional (KBBI: bersifat menggemparkan) dan bombastis (KBBI: bersifat omong kosong) untuk menarik pembaca.
Replikasi itu terjadi terus-menerus bahkan ada kecenderungan untuk lebih meningkatkan peniruan dengan harapan tidak akan bisa dilacak.
Tapi, mereka salah karena secara empiris setiap kejahatan akan meninggalkan jejak yang bisa jadi titik awal pengungkapan kasus.
Itulah sebabnya polisi selalu mengingatkan agar tempat kejadian perkara (TKP) tidak boleh diutak-atik sebelum polisi datang. Soalnya, kalau sudah diutak-atik bisa saja ada petunjuk yang hilang.
Cerita-berita kriminal di novel atau media massa memberikan gambaran yang riil tentang jejak yang bisa jadi alat untuk mengungkap kasus. Misalnya, hanya dari bekas lipstik di puntung rokok sudah bisa jadi petunjuk bagi polisi yaitu ada di antara pelaku dengan jenis kelamin perempuan.
Berita-berita kriminal di media tampaknya terlalu disederhakanan dengan mengedepankan motif dan merekonstruksi kejadian dengan mendramatisir kasus.
Padahal, dalam jurnalistik hal itu merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai 'the second rape' atau 'the second murder' ketika polisi dan wartawan memembeberkan kejadian secara gamblang.
Baca juga: Wartawan Sebagai Pelaku "The Second Rape" dalam Berita Perkosaan