Celakanya, masa itu ada organisasi yang menuding warga sebagai antek-antek Amerika jika mendengar siaran radio luar negeri. Soalnya, ketika ini petinggi negeri ini menghujat Amerika tapi merangkul negara-negara sosialis, ateis dan komunis.
Korespendensi dengan seorang serdadu angkatan darat Singapura, misalnya, jadi cara untuk saling tukar perangko. Pertemanan juga dijalin melalui korespendensi di beberapa kota di Indonesia dan luar negeri.
Berbagai kabar disampaikan melalui surat, kartu pos dan telegram (misalnya, untuk kabar penting, seperti kelahiran, sakit dan kematian) tapi bisa juga untuk kabar lain. Selain itu, ada juga telegram untuk ucapan selamat Lebaran yang dikenal sebagai Telegram Indah.
Korespendensi kini sudah beralih ke e-mail, SMS dan WhatsApp yang membuat surat-menyurat berada di titik nadir.
Padahal, korespondensi bisa jadi salah satu upaya untuk meningkatkan literasi. Tentu saja PT Pos Indonesia sejatinya memegang kendali untuk mendorong warga (kembali) menulis surat yang dikirim melalui pos.
Itu artinya surat dengan perangko yang menjadi objek filateli bagi filatelis (kolektor benda-benda pos).
Jangankan sekarang dulu pun sangat sulit untuk berkirim surat karena harus beli perangko dan memasukkan surat ke kantor pos.
Kalau saja PT Pos Indonesia menyediakan warkat pos dalam negeri dan luar negeri serta kartu pos dengan perangko tercetak tentulah jauh lebih mudah berkirim surat.
Duduk sambil ngopi menunggu keberangkatan bus, kereta api (KA) atau pesawat bisa menulis pesan di warkat pos atau kartu pos. Juga perlu disediakan bis surat agar lebih mudah.
Di masa mudik Lebaran atau Nataru (Natal dan Tahun Baru) ketersediaan warkat pos dan kartu pos dengan perangko tercetak sangat membantu warga yang ingin mengirim kabar kepada keluarga, teman, kerabat, sahahat, rekan dan lain-lain.