Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cegah Mahasiswa Terjerat Pinjol Pakai Dana APBD untuk Dukung Biaya Kuliah dengan Skema Kredit

31 Januari 2024   13:30 Diperbarui: 1 Februari 2024   06:46 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Mahasiswa unjuk rasa di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Gowa, Sulsel, (19/9/2018). (Foto: KOMPAS.com/ABDUL HAQ)

Nah, kalau dana yang mubazir, termasuk yang ditilep, itu dipakai untuk pinjaman atau kredit (KBBI: pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur) bagi calon mahasiswa yang tidak mampu untuk membayar biaya daftar ulang, uang kuliah dan biaya hidup yang layak.

Menyediakan dana dari APBD sebagai kredit bagi calon mahasiswa dan mahasiswa merupakan investasi bagi daerah. Misalnya, persyaratannya setelah lulus mereka wajib kerja di daerah sekian tahun. Jika selesai kerja wajib mereka boleh memilih jadi PNS di daerah itu atau memilih kerja di tempat lain. Tentu saja setelah pinjaman mereka lunas.

Maka, amatlah gegabah orang-orang, seperti peserta kontestan Pemilu dan Pilpres 2024 yang mengumbar janji uang kuliah gratis karena pendidikan lanjutan (SLTA yaitu SMA/SMK/Aliyah dan sederajat) bukan hak sehingga tidak boleh memakai dana APBN (Anggapan Pendapatan dan Belanja Nasional).

Yang jadi tanggung jawab negara (baca: pemerintah) adalah pendidikan dasar yaitu SD/Madrasah sampai SMP/Tsanawiyah karena pendidikan dasar adalah hak. Celakanya, di Indonesia dibalik jadi kewajiban yang dikenal sebagai Wajar (wajib belajar).

Hal itu jelas keliru karena yang wajib adalah pemerintah menyediakan sarana dan prasarana agar semua anak bisa memperoleh hak mereka untuk belajar pendidikan dasar.

Maka, kalau ada anak usia 7-16 tahun tidak sekolah formal di SD sampai SMP, maka persoalan ada pada pemerintah yaitu lalai mengurus warga sehingga haknya diabaikan.

Secara universal setiap seorang anak lahir, maka dia berhak untuk mendapatkan:

  • identias (tanda/akte lahir dan setelah dewasa kartu tanda penduduk/KTP-maka KTP itu hak
  • bukan kewajiban)
  • imunisasi dasar, dan
  • pendidikan dasar 9 tahun

Maka, peserta kontestasi legislatif pusat dan daerah serta presiden/wakil presiden bukan mengumbar uang kuliah gratis, tapi menjamin sepenuhnya tidak ada lagi anak-anak usia 7-16 tahun yang tidak mengenyam pendidikan dasar formal dan tidak ada pula yang drop out (DO) atau putus sekolah.

Saolnya, tidak sedikit orang tua yang kesulitan menyekolahkan anaknya untuk mengenyam pendikan dasar. Ada SD dan SMP gratis, tapi aa uang ini itu, termasuk uang seragam dan uang study tour yang tidak kecil. Akibatnya, tetap terjadi putus sekolah SD dan SMP. Selain itu ada yang lulus SD tidak dilanjutkan ke SMP serta lulus SMP tidak dilanjutkan ke sekolah lanjutan atas.

Baca juga: Menggerakkan Masyarakat Dukung Pendidikan untuk Menggapai Kehidupan Berkebangsaan

Pakaian seragam dan sepatu serta perlengkapan sekolah juga jadi beban orang tua, terutama bagi yang tidak mampu. Setiap hari sepanjang pekan pakaian berganti: seragam umum, batik, pakaian keagamaan, pramuka dan olahraga. Bahkan, di era Orde Baru ada gagasan sepatu pelajar dari SD sampai SLTA seragam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun