Catatan: Artikel ini tidak terkait dengan dukung-mendukung atau sebagai relawan karena artikel saya tulis murni dengan kaidah jurnalistik. Penulis
Narasi yang tidak objektif itu dikemas dengan nuansa 'orgasm journalistic' yang justru mendorong stigmatisasi (pemberian cap negatif) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terkait dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang memberikan kesempatan sebagai hak demokrasi bagi warga negara yang berusia di bawah 40 tahun.
Putusan MK itu memberikan syarat jika berusia di bawah 40 tahun, maka harus pernah atau sedang memegang jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Baca juga: Jokowi Versus Orgasm Journalistic
Disebut bahwa putusan MK itu 'memuluskan jalan bagi Gibran' (Gibran Rakabuming Raka) jadi calon wakil presiden (Cawapres) bagi calon presiden (Capres) Prabowo Subianto yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi "Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah: q. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah kualifikasi yang sedang menjabat kepala daerah dipilih melalui Pemilu dan Pilkada di Indonesia hanya Gibran seorang diri?
Tidak!
Maka, narasi yang dibangun oleh beberapa kalangan itu merupakan bentuk hasad [KBBI: dengki - menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena iri yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain].
Laporan kompas.com edisi 17/10-2023 dengan judul "Selain Gibran, Ini 21 Kepala Daerah Berusia di Bawah 40 Tahun yang Bisa Jadi Capres-Cawapres" menunjukkan narasi yang dibangun belakangan ini ternyata hanya menghujat dan menghujam Gibran sehingga merupakan cara-cara yang tidak objektif bahkan bisa jadi sebagai narasi 'the haters.'