Kalau saja kita berpikir jernih yang kita lakukan bukan menghujat dengan memakai terminologi politik dinasti, tapi meningkatkan literasi politik masyarakat agar memahami baik-buruknya politik kekerabatan.
Namun, materi literasi bukan dengan orasi moral yang mengusung kezaliman, tapi memberikan fakta kerusakan sistem karena politik kekerabatan.
Ini memang perjalanan panjang, tapi dengan memberikan fakta kerusakan akibat politik kekerabatan secara objektif merupakan lompatan besar ke depan yang membuka mata hati masyarakat dalam memilih pejabat publik, dalam hal ini anggota legislatif (pusat dan daerah), gubernur, bupati dan wali kota.
Ketika tingkat literasi masyarakat sudah mumpuni, politik uang (KBBI: politik dengan menggunakan uang sebagai kekuatan) tidak lagi bisa diandalkan oleh kalangan berduit untuk memperoleh jabatan publik.
Yang bisa merusak literasi masyarakat terkait dengan politik kekerabatan dan politik uang adalah kemunafikan. Ketika orang lain melakukannya kita ribut, tapi di saat keluarga yang terlibat kita justru diam atau membelanya.
Selain itu sebelum memang kekuasaan mulut berbuih-buih mengecam korupsi, politik kekerabatan dan politik uang, tapi ketika sudah di tampuk kekuasaan justru melakukan hal tersebut.
Ini akan membuat masyarakat masa bodoh atau tidak perduli (lagi) dengan kerusakan yang ditimbulkan politik kekerabatan dan setengah orang akhirnya ikut arus yang bermuara pada kerusakan sistem kemasyarakatan sehingga kembali lagi ke kondisi awal tanpa pemahaman yang mumpuni tentang kerusakan akibat korupsi, politik kekerabatan dan politik uang. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H