Menanggapi jalan politik Partai Golkar yang secara resmi melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar, Sabtu (21/10-2023), yang mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (Cawapres) sebagai pasangan Prabowo Subianto yang diusung koalasi jadi calon presiden (Capres) muncul kekhawatiran akan terjadi dinasti.
Sejak Gibran mencalonkan diri jadi Wali Kota Surakarta (Solo) terminologi dinasti mulai mencuat, tapi dengan kosa kata yang salah yaitu dinasti politik. Padahal, Bahasa Indonesia tidak mengenal hukum MD, yang dipakai adalah hukum DM sehingga yang tepat adalah politik dinasti.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring disebutkan politik dinasti adalah suksesi pejabat yang dilanjutkan oleh kerabat pejabat yang berkuasa.
Nah, jika memakai nalar maka ketika Gibran terpilih jadi wali kota melalui pemilihan yang menerapkan asas Luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) itu jelas bukan suksesi dari ayahnya yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Maka, hujatan berupa memfitnah dengan politik dinasti merupakan perbuatan zalim [KBBI: (a) bengis; tidak menaruh belas kasihan; tidak adil; kejam dan (b) orang yang melakukan perbuatan aniaya yang merugikan dirinya sendiri dan/atau orang lain].
Sejak dilantik jadi Wali Kota Solo pada tanggal 26 Februari 2021, apakah ada keistimewaan yang dia terima dari Presiden Jokowi dalam menjalankan tugas sebagai wali kota?
Lagi pula sekarang ini 'kan ada di era otonomi daerah (Otda) yang diatur melalui UU yang menempatkan gubernur, bupati dan wali kota 'sejajar dengan presiden' kecuali dalam aspek hankam (pertahanan keamanan), moneter dan luar negeri. Jadi, tidak diperlukan bantuan presiden karena semua hal sudah diatur UU kecuali tiga hal tadi.
Baca juga: Tidak Ada Politik Dinasti di Indonesia
Secara empiris jika berpijak pada defenisi, maka tidak ada politik dinasti di Indonesia karena tidak gubernur, bupati atau wali kota yang menerima jabatan secara turun-temurun dari kakek, ayah atau ibunya.
Mereka semua memperoleh jabatan melalui pemilihan yang Luber. Bahkan, sebelum dilantik masyarakat mempunyai hak untuk menggugat melalui jalur hukum, dalam hal ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Presidenpun tidak bisa melalukan intervensi terhadap keputusan MK.