Manfaat secara luas jelas tidak ada. Apalagi ada di antara wisatawan itu yang menempatkan diri sebagai orang yang ingin melihat masyarakat tradisional yang primitif.
Itu terjadi karena wisatawan memakai ukuran dirinya yang hidup dengan suasana modern ketika mengunjungi Baduy atau masyarakat adat lain.
Kalau yang dipakai perspektif, maka tidak ada jargon-jargon menyudutkan mereka dengan menyebut mereka sebagai kuno, tradisional atau primitif karena itu kehidupan mereka yang menyatu dengan alam.
Di era Orde Baru masyarakat adat dikelompokkan sebagai 'masyarakat atau warga terbelakang' hanya karena mereka hidup selaras dengan alam. Maka, dibuatlah proyek untuk memasyarakatkan masyarakat adat.
Apa yang terjadi kemudian?
Masyarakat adat 'mati' karena mereka tidak bisa hidup selaras dengan alam. Misalnya, Suku Laut di Sulawesi yang hidup di atas air dipindahkan ke daratan dengan jarak beberapa kilometer.
Mereka kewalahan karena ketika di perahu kapan saja mereka bisa memancing atau menjala ikan. Tapi, dengan kondisi yang disebut sebagai 'memasyarakatkan' mereka justru 'padam.'
Begitu juga dengan yang menjalankan kegiatan sekolah untuk anak-anak Suku Kubu di Jambi, Pulau Sumatera. Mereka tidak membutuhkan pakaian formal dengan pendidikan ala formal karena mereka belajar dari kehidupan yang selaras dengan alam. Intervensi ini jelas merusak tatanan sosial suku itu.
Ada pula menteri yang datang ke masyarakat adat dengan mengatakan: "Baru sekarang mereka mengenal Tuhan" karena menteri itu memperkenalkan agama yang dianutnya. Padahal, masyarakat ada sudah memegang religi yaitu hubungan mereka dengan Yang Maha Kuasa.
Maka, jika meminjam istilah yang diperkenalkan oleh Bang Hotman (Prof Dr Hotman M Siahaan, sosiolog di Unair, Surabaya) sudah saatnya wisatawan, terutama yang berkunjung ke masyarakat adat menerapkan 'wisata partisipatif' yaitu kegiatan yang menjadikan masyarakat adat sebagai subjek dan wisatawan sebagai objek.
Artinya, masyarakat adat bisa bertanya: "Apa manfaat yang kami terima dengan kedatangan kalian?"Â