"Ngeri, Penderita HIV dan AIDS di Pandeglang (Banten-pen.) Capai 92 Orang" Ini judul berita di poskota.co.id (13/9-2023).
Judul berita ini merupakan opini yang justru tidak sesuai dengan fakta.
Pertama, tidak ada yang mengerikan terkait dengan kasus HIV/AIDS karena secara fisik tidak ada tanda-tanda yang membuat orang lain ngeri.
Kedua, orang-orang yang HIV-positif dan yang sudah masuk masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak menjalani terapi dengan obat antiretroviral/ART) tidak menderita.
Dengan jumlah kasus kumulatif yang terdeteksi di tahun 2023 sebanyak 92 bisa disebut 'ngeri' jika kasus itu terdeteksi pada laki-laki beristri karena mereka akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular ada pula risiko penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Yang perlu diketahui dalah kasus yang terdetkei (92) tidak menggamarkan jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat. Hal ini terjadi karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat matriks).
Maka, ada warga Pandeglang, terutama laki-laki dewasa dan ibu rumah tangga, yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka ini, terutama laki-laki, akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Sekertaris Dinas Kesehatan Pandeglang, Banten, Jenal Mutakin, mengatakan: .... tingginya kasus HIV/AIDS tersebut dipicu oleh mobilitas penduduk tinggi karena efek globalisasi memicu perubahan perilaku, budaya serta gaya hidup masyarakat."Hal itu, menjadi bagian faktor pemicu meningkatnya penyebaran virus HIV/AIDS di masyarakat."