Berita tentang uang tabungan murid SD di Pangandaran dan Tasikmalaya, keduanya di Jawa Barat (Jabar), mengingatkan saya ketika belajar di SDN Padangmatinggi, Kota "Salak" Padangsidimpuan, di Tapanuli bagian selatan atu sekitar 420 km arah barat daya Kota Medan, di Sumatera Utara.
Ketika itu awal tahun 1960-an ada yang datang dengan pakaian necis dan tas besar menawarkan cara menabung. Saya lupa apakah itu bank atau koperasi.
Yang saya ingat ada kata 'dharma' di nama lembaga itu. Mungkin ada warga Padangsidimpuan atau daerah lain yang mengalami nasib yang sama dengan saya dan mengingat nama lembaganya.
Saya juga tidak ingat berapa rupiah tabungan saya. Yang saya ingat tiap hari saya menabung dengan membeli kupon dan menempelkannya di buku tabungan.
Akhir cerita sekolah menerima tawaran dan secara berkala karyawan dari lembaga keuangan itu datang ke sekolah. Yang ikut menabung diberikan buku tabungan.
Murid-murid yang akan menambung membeli kupon, seperti prangko, dengan nominal sesuai dengan yang dibeli. Kemudian ditempelkan di buku tabungan.
Tapi, apa lacur beberapa tahun kemudian tidak ada lagi kabar dari lembaga keuangan itu. Artinya, semua uang tabungan murid, entah dari berapa sekolah di beberapa kota dan daerah, raib tak tentu rimbanya.
Saya berpikir di zaman saya belajar, ketika itu bernama sekolah rakyat (SR) yang kemudian berubah jadi sekolah dasar (SD), tentulah pengetahuan tentang perbankan dan koperasi sangat rendah. Maka, amat mudah dikibuli dan ditipu.
Tapi, di zaman dengan sistem perbankan yang bisa diakses melalui telepon seluluer (Ponsel) terjadi penipuan tabungan siswa tentulah sangat disayangkan.
Di Pangandaran, misalnya, seperti diberitakan kompas.com (28/6-2023) uang tabungan siswa yang dikelola koperasi yang mandeg sekitar Rp 7,47 miliar di dua kecamatan, Cijulang dan Parigi. Dari Rp 7,47 miliar itu, hampir Rp 1,5 miliar di antaranya dipinjam 62 guru dan belum dikembalikan.