Berita tentang Toko Buku (TB) Gunung Agung yang akan akan menutup seluruh cabangnya di berbagai wilayah pada tahun 2023 sangat menghentak.
Ketika belajar di Yogyakarta di awal tahun 1970-an tempat mencari buku dan alat tulis hanya di TB Gunung Agung di seberang Tugu dekat Pasar Kranggan di perempatan Jalan P. Mangkubumi dan Jalan Jenderal Sudirman. Toko itu belakangan jadi showroom motor.
Ketika di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), tahun 1980-an untuk mencari buku bacaan juga hanya di TB Gunung Agung di bilangan Kesawan.
Begitu juga di Jakarta sebelum ada Gramedia toko buku yang jadi tujuan adalah TB Gunung Agung di Kwitang di perempatan Senen, Jakarta Pusat.
TB Gunung Agung ini juga jadi tempat salat Jumat yang terkenal dengan khutbah yang keras. Padahal, itu di masa rezim Orde Baru (Orba). Beberapa kali penulis Jumatan di TB Gunung Agung Kwitang. Ada saja jamaah yang membawa 'beceng' (pistol) di pinggangnya.
Dikabarkan Gunung Agung tidak mampu lagi bertahan karena beban pengeluaran untuk operasional tidak lagi sebanding dengan pendapatan. Ini realistis karena pembeli buku turun, begitu juga dengan alat-alat tulis karena sekarang sudah paperless.
Literasi di Indonesia porak-poranda dan berada di titik nadir karena serbuan acara televisi, terutama telenovela dan infotaintment.
Baca juga: Menyoal Nilai Berita pada Acara Infotainment di Televisi
Sejatinya, masyarakat dengan literasi bermula dari reading society (masyarakat gemar membaca). Selanjutnya naik ke tahap writing society (masyarakata yang gemar menulis). Barulah ke tahap selanjutnya yaitu filming society (masyarakat yang gemar menonton film).
Secara harfiah warga yang membaca kabar, berita atau cerita di surat kabar, majalah dan novel (reading society) akan menuliskan resensi (writing society) yang dibaca. Kemudian jika ada cerita atau kisah yang diangkat ke layar lebar barulah warga menonton (filming society).