Di Jawa Barat disbutkan mencegah HIV/AIDS antara lai dengan dara tidak melalukan hubungan seksual sebelum menikah
Kadinkes Jabar Nina Susana Dewi mengatakan, penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Barat sudah dilakukan dengan melakukan skrining dini tes HIV. Tes itu menyasar populasi kunci mulai dari wanita pekerja seks (WPS), LSL, waria hingga penasun atau pengguna napza suntik hingga ibu hamil TB. Ini ada dalam berita "Solusi Pemprov Jabar untuk Tekan Kasus HIV/AIDS" di detik.com (1/9-2022).
Jika disimak dengan teliti langkah-langkah yang disebut di atas semuanya ada hilir dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Skrining dini tes HIV merupakan kegiatan di hilir yaitu dilakukan pada orang-orang yang sudah melakukan perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Padahal, yang diperlukan pada penanggulangan HIV/AIDS adalah langkah di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual, dalam hal ini dengan pekerja seks komersial (PSK).
Artinya ada penjangkuaan atau intervensi terhadap laki-laki yang membeli seks ke PSK. Tapi, hal ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir. Dengan kondisi praktek pelacuran di Indonesia yang tidak dilokalisir, maka mustahil melalukan penjangakuan atau intervensi terhadap laki-laki pembeli seks.
Soalnya, sekarang lokaliasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan dengan ponsel, sedangkan eksekusinya dilakukan sembarang waktu dan di sembarang tempat.
Itu artinya praktek pelacuran sekarang ada di ranah privat yang mustahil dijangkau. Dengan kondisi ini insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Baca juga: Mustahil Melakukan Intervensi terhadap Laki-laki Pembeli Seks di Indonesia
Laki-laki yang tertular HIV/AIDS jika tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang punya istri menularkan HIV ke istrinya, bahkan ada laki-laki yang beristri lebih dari satu sehingga menambah jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Sebagai gambaran ada tujuh pintu masuk HIV/AIDS yang sama sekali tidak bisa dijangkau, yaitu:
(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),
(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,
(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.
Dalam realitas sosial terkait praktek pelacuran tidak ada yang bisa diintervensi karena semua terjadi di ranah privat (Lihat matriks perilaku berisiko yang tidak bisa dijangkau).
Sedangkan tes HIV terhadap PSK, LSL (lelaki suka seks lelaki) dan waria juga ada di hilir.
Jika seorang PSK terdeteksi HIV-positif, maka ada laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK itu. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki itu bisa seorang suami, pacar atau selingkuhan sehingga jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS kian banyak. Bahkan bisa saja laki-laki itu juga melakukan hubungan seksual dengan PSK lain (Lihat matriks laki-laki penular HIV/AIDS ke PSK).
Dalam berita disebutkan: Di antaranya, abstinen atau puasa tidak melalukan hubungan seksual sebelum menikah dan be faithful atau setia pada satu pasangan seksual (menikah).
Astaga, rupanya di Jabar kalau sudah menikah tidak ada lagi risiko tertular HIV/AIDS lagi. Tidak ada kaitan antara penularan HIV/AIDS dengan hubungan seksual sebelum menikah.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (sebelum menikah, di luar nikah, zina, selingkuh, melacur, seks bebas, dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis (Lihat matrik sifat dan kondisi hubungan seksual).
Soal setia dengan satu pasangan juga tidak selamanya aman kerena bisa saja sebelumnya salah satu atau kedunya sudah punya pasangan seks. Risiko ada jika pasangan sebelumnya dengan perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Ada lagi pernyataan: Selanjutnya drug atau tidak menggunakan obat-obatan dan narkoba, ....
Pernyataan ini tidak akurat karena risiko tertular HIV/AIDS pada penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) harus ada kondisi yaitu disalahgunakan dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan mamai jarum secara bergantian.Â
Ini berisiko karena kalau salah satu di antara mereka mengidap HIV/AIDS maka darah yang mengandung HIV akan masuk ke jarum suntik. Darah yang mengandung HIV itu kemudian disuntikkan penyalahguna lain ke badannya.
Kalau menyalahgunakan Narkoba dengan jarum suntik dilakukan sendirian, sampai kiamat pun tidak aka nada risiko tertular HIV/AIDS dari jarum suntik tersebut.
Ada lagi pernyataan: "Kita telah mewajibkan ibu hamil trimester pertama yang mengunjungi faskes untuk melakukan pemeriksaan HIV/AIDS .... "
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar: Apakah suami ibu hamil yang tes HIV juga menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya TIDAK, maka suami-suami yang istrinya terdeteksi HIV-positif jadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam di luar nikah.
Sejatinya Dinkes Jabar membalik paradigma berpikir: yang dites HIV adalah suami dari perempuan hamil. Ini akan memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Jabar.
Ada pula pernyataan ini: "Edukasi HIV bagi siswa SMP/SMA oleh Disdik Jabar salah satunya sebagai upaya promotif dan preventif penanggulangan HIV/AIDS," ....
Persoalan besar terkait edukasi HIV/AIDS adalah materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma,moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS. Akibatnya, yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah tentang HIV/AIDS).
Misalnya, menyebut 'seks bebas' sebagai penyebab HIV/AIDS. Celakanya, tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'seks bebas.' Lagi pula, kalau benar 'seks bebas' penyebab HIV/AIDS tentulah semua orang di dunia ini yang pernah melakukan 'seks bebas' sudah mengidap HIV/AIDS.
Faktanya: Tidak!
Baca juga: Seks Bebas Jargon yang Jadi Kontra Produktif terhadap Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Maka, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Kemenkes di pusat dan dinas-dinas kesehatan (Dinkes) di daerah mengedepankan fakta medis dalam meteri KIE tentang HIV/AIDS. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H