Fasilitas, layanan dan dukungan HIV/AIDS semula hanya ada di Kota Makassar sehingga warta dari daerah lain memilih tes HIV di Makassar
"Jumlah pengidap HIV/AIDS di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) sejak tahun 2005 hingga 2022, mencapai kurang lebih 26.000 kasus. Kasus terbanyak tercatat berada di Makassar dengan jumlah mencapai sekitar 15.000 kasus."
Pernyataan di atas lead pada berita "Jumlah Pengidap HIV/AIDS di Sulsel Capai 26.000 Ribu Kasus. Kasus HIV/AIDS di Sulsel terbanyak di Makassar" di sulsel.idntimes.com (21/8-2022).
Sedangkan laporan di situs siha.kemkes.go.id jumlah kumulatif HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dari tahun 1987 sampai 31 Desember 2021 sebanyak 16.267 yang terdiri atas 12.348 HIV dan 3.919 AIDS. Mungkin jumah 26.000 itu adalah prediksi. Sedangkan jumlah kasus nasional mencapai 579.188. Dengan jumlah kasus 16.267 Sulsel ada di peringakat ke-8 nasional dari 34 provinsi.
Terkait dengan pernyataan kasus HIV/AIDS di Sulsel terbanyak di Kota Makassar itu terjadi karena dulu fasilitas tes HIV hanya ada di Makassar. Selain itu warga dari daerah pun memilih tes HIV di Makassar karena ada beberapa LSM yang menampung dan mendampingi Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Jumlah kasus yang terdaftar di Makassar perlu juga diurai asal daerahnya agar bisa dilihat gambaran nyata penyebaran HIV/AIDS di Sulsel.
Disebutkan dalam berita: Akbar [Koordinator Pengelola Program di Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Sulsel, Andi Akbar Halim -- pen.] menyatakan, penularan HIV/AIDS dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Hal itu disebabkan sangat sedikit pengidap HIV/AIDS yang bisa dijangkau untuk dilakukan terapi.
Selain penyebaran HIV/AIDS melalui pengidap HIV/AIDS, terutama laki-laki dewasa, yang tidak menjalani terapi obat antiretroviral (ART), pertambahan kasus HIV/AIDS di Sulsel juga terjadi melalui warga, terutama laki-laki dewasa, yang sering melakukan perilaku seksual berisiko.
Perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS yang merupakan pintu masuk HIV/AIDS ke Sulsel, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung (kasat mata) dan cewek prostitusi online (tidak kasat mata) dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Keempat perilaku seksual berisiko ini ada di ranah privat sehingga tidak bisa dilakukan penjangkauan, antara lain untuk meminta agar laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual berisiko.
Sebelum reformasi ada lokalisasi pelacuran sehingga bisa dilakukan penjangakuan. Langkah ini dijalankan di beberapa negara, seperti Thailand dengan program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat-tempat pelacuran dan rumah bordil.
Program itu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dengan indikator jumlah calon taruna militer yang terdeteksi HIV-positif berkurang. Tapi, program ini hanya bisa dijalankan jika praktes PSK dilokalisir.
Di Indonesia sejak reformasi ada gerakan moral menutup semua tempat pelacuran. Akibatanya, lokalisasi pelacuran sekarang pindah ke media sosial yang melibatkan PSK langsung dan cewek prostitusi online.
Transaksi seks dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi di sembarang waktu dan sembarang tempat. Kondisi ini tidak bisa dijangkau untuk sosialisasi kondom (Lihat matriks penjangkauan).
Warga yang tertular melalui perilaku seksual berisiko dan tidak terdeteksi, terutama laki-laki, akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, kalau KPA Sulsel tidak mempunyai program yang bisa menutup empat pintu masuk HIV/AIDS di atas, maka selama itu pula kasus baru HIV akan terjadi yang selanjutnya menyebar di masyarakat.
KPA Sulsel perlu juga mencari penyebab atau alasan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) tidak menjalani ART. Di beberapa daerah selah satu penyebabnya adalah pusat layanan yang menyediakan obat antiretroviral (ARV) jauh dari tempat tinggal mereka sehingga membutuhkan biaya berupa ongkos yang besar untuk transportasi. Bahkan ada yang harus menginap sehingga perlu pula uang untuk bayar penginapan.
Di bagian lain disebut: Alasan pengidap HIV/AIDS atau ODHA ini sulit dijangkau, karena danya bayang-bayang stigma dan diskriminasi terhadap mereka. Hal itulah yang membuat mereka merahasiakan statusnya sebagai ODHA.
Penulisan ODHA tidak tepat yang tepat adalah Odha. Soalnya, Odha bukan akronim atau singkatan, tapi kata yang mengacu ke Orang dengan HIV/AIDS sebagai padanan untuk PLWHA (People living with HIV/AIDS). Istilah Odha diperkenalkan oleh mendiang Prof Dr Anton M Moeliono, pakar bahasa di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (d/h Depdikbud), setelah diskusi dengan aktivis dari Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta tahun 1995 (Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Penerbit Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000, catatan kaki hlm 17).
Nah, Odha yang terdeteksi melalui tes HIV sukarela di Klinik VCT yang ditunjuk pemerintah akan mejalani ART. Tapi, ketika ada kendala biaya untuk transportasi mereka bisa putus obat.
Mereka ini sudah dijamin kerahasiaan identitas sehingga tidak jadi korban stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Lagi pula stigma dan diskrimnasi ada di hilir (Lihat matrik stigma di hilir).
HIV/AIDS memang bisa dicegah, tapi ketika informasi tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral da agama, maka fakta medis HIV/AIDS lenyap. Yang sampai ke masyarakat melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), termasuk melalui berita di sebagian besar media massa dan media online, hanya mitos (anggapan yang salah).
Seperti pernyataan ini: Akbar menyebut ada tiga cara untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Pertama, laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak berhubungan seks. Kedua, laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, harus setia pada pasangannya. Ketiga, adalah penggunaan kondom.
Tidak ada hubungan langsung dan tidak langsung antara belum menikah dengan penularan HIV/AIDS, karena penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual (belum menikah, zina, melacur, selingkuh, homoseksual dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (Lihat matrik risiko tertular HIV).
Terkait dengan pasangan suami-istri yang saling setia, tapi di agama tertentu bisa beristri lebih satu. Ini juga bisa berisiko apalagi istri kedua dan seterusnya sudah pernah menikah karena tidak diketahui perilaku mantan suaminya.
Pengalaman guru agama di Sumatera Utara (Sumut) ini bisa jadi gambaran nyata kesetiaan yang juga bisa membawa HIV/AIDS.
Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS
Terkait dengan pernyataan: Pada kasus penggunaan kondom, KPA juga mendapatkan tantangan luar biasa. Sebab mereka dianggap mendukung seks bebas.
Laki-laki 'hidung belang' yang membeli seks ke PSK justru tidak mau memakai kondom. Maka, KPA Sulsel perlu juga membawa orang-orang yang mengatakan kondom 'mendukung seks bebas' berhadapan dengan Laki-laki 'hidung belang' agar mereka mendapatkan fakta tentang kondom.
Bukti lain laki-laki enggan memakai kondom adalah melakukan seks anal atau seks oral dengan pacar atau selingkuhannya untuk mencegah agar tidak hamil.
Ketika banyak negara sudah bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru kita justru terperangkap dan berkutat soal informasi HIV/AIDS dan pro-kontra kondom. Kondisi ini akan membawa Indonesia sebagai 'afrika kedua' terkait dengan epidemi HIV/AIDS. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H