(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung (kasat mata) dan cewek prostitusi online (tidak kasat mata) dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Keempat perilaku seksual berisiko ini ada di ranah privat sehingga tidak bisa dilakukan penjangkauan, antara lain untuk meminta agar laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual berisiko.
Sebelum reformasi ada lokalisasi pelacuran sehingga bisa dilakukan penjangakuan. Langkah ini dijalankan di beberapa negara, seperti Thailand dengan program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat-tempat pelacuran dan rumah bordil.
Program itu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dengan indikator jumlah calon taruna militer yang terdeteksi HIV-positif berkurang. Tapi, program ini hanya bisa dijalankan jika praktes PSK dilokalisir.
Di Indonesia sejak reformasi ada gerakan moral menutup semua tempat pelacuran. Akibatanya, lokalisasi pelacuran sekarang pindah ke media sosial yang melibatkan PSK langsung dan cewek prostitusi online.
Transaksi seks dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi di sembarang waktu dan sembarang tempat. Kondisi ini tidak bisa dijangkau untuk sosialisasi kondom (Lihat matriks penjangkauan).
Warga yang tertular melalui perilaku seksual berisiko dan tidak terdeteksi, terutama laki-laki, akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, kalau KPA Sulsel tidak mempunyai program yang bisa menutup empat pintu masuk HIV/AIDS di atas, maka selama itu pula kasus baru HIV akan terjadi yang selanjutnya menyebar di masyarakat.