Kalau hanya sebatas edukasi hal itu sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu ketika HIV/AIDS dilaporkan di Indonesia (1987) dan hasilnya nol besar.
Bagaimana caranya edukasi bisa menghalangi warga untuk melakukan perilaku-perilaku berisiko di atas. Perilaku berisiko di atas semua terjadi di ranah privat.
Sejak reformasi lokalisasi pelacuran ditutup, maka sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan melalui media sosial, sedangkan eksekusinya dilakukan di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Sekretaris KPAP Sulsel, Muharram Sahude, mengatakan, "Koordinasi ini sebagai bentuk sinergitas bersama guna melakukan terobosan serta inovasi dalam upaya penanggulangan AIDS khususnya di Sulsel."
Apa bentuk terobosan dan inovasi yang bisa mencegah warga melakukan perilaku-perilaku berisiko di atas?
Tidak ada!
Soalnya, tiga kegiatan berisiko di atas terjadi di ranah privat sehingga tidak bisa dilakukan intervensi. Selain itu setelah lokalisasi pelacuran ditutup sejak reformasi, lokalisasi pelacuran pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan di media sosial yang melibatkan perempuan atau cewek prostitusi online.
Yang bisa diintervensi hanya perilaku nomor 3, tapi itu pun praktek pelacuran harus dilokalisir. Thailand sudah membuktikan keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS melalui program 'wajib kondom 100 persen' bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil.
Kalau hanya melalui sosialisasi dan edukasi sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu ketika HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia (1987). Sedangkan melalui regulasi, dalam hal ini peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS juga tidak akan berhasil karena pasal-pasal di Perda AIDS tidak menukik ke akar persoalan.
Di Sulsel sendiri sudah ada enam Perda AIDS, yaitu: Kab Bulukumba (2008), Kab Luwu Timur (2009), Provinsi Sulsel (2010), Kab Wajo (2012), Kab Maros (2016), Kab Gowa (2017).
Baca juga: Menyibak Peran Perda AIDS Provinsi Sulawesi Selatan