"Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat menyatakan sampai hari ini ada hampir 50 ribu kasus HIV-AIDS (Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immune Deficiency Syndrome). Terdiri dari 38 ribu kasus HIV dan 10 ribu lainnya terpapar AIDS." Ini lead pada berita "Ada Hampir 50 Ribu Kasus HIV-AIDS di Jawa Barat" (liputan6.com, 25/6-2019).
Laporan Triwulan I/2019 - Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 11/5-2019, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jabar dari tahun 1987 sd. 31 Maret 2019 mencapai 42.352 yang terdiri atas 35.529 HIV dan 6.823 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jabar pada peringkat ke-4 secara nasional dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS terbanyak.
Ada beberapa hal yang terkait dengan fakta 'hampir 50.000 kasus HIV/AIDS di Jabar' yang tidak akurat dan tidak dibahas dalam berita, yaitu:
Pertama, angka 'hampir 50.000' hanyalah kasus yang terdeteksi. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (hampir 50.00) adalah sebagian kecil dari kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat Jabar. Kasus ini (hampir 50.000) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan jumlah kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat Jabar digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar)
Kedua, dalam berita tidak ada informasi tentang langkah Pemprov Jabar, dalam hal ini Dinkes Jabar, untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut. Itu artinya warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Ketiga, warga Jabar yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda secara fisik dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas HIV/AIDS.
Keempat, penyebutan '10 ribu lainnya terpapar AIDS' salah besar karena AIDS bukan virus dan tidak pula jenis penyakit. AIDS adalah kondisi pada orang-orang yang sudah tertular HIV, yang secara statistik terjadi antara 5 -- 15 tahun setelah tertular HIV, yang ditandai dengan beberapa jenis penyakit yang disebut infeksi oportunistik. Tapi, perlu diingat tidak semuanya dalam kondisi sakit.
Lalu, apa yang dilakukan Dinkes Jabar untuk menanggulangi HIV/AIDS?
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Berli Hamdani, justru mengeluhkan tiga permasalahan besar: masalah anggaran, diskriminasi dan ketersediaan obat.
Dalam berita tidak ada penjelasan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS terhadap hampir 50.000 warga Jabar. Jika faktor risiko utama adalah hubungan seksual yang berisiko pada hertoseksual, yaitu hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), maka yang diperlukan adalah intervensi untuk menjalankan program kepatuhan memakai kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.
PSK sendiri dikenal ada dua jenis, yaitu:
(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran atau mejeng di tempat-tempat umum, dan
Mitos Bukan PSK
(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini 'menyamar' sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.
[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]
Sebesar apa pun anggaran tidak akan berguna untuk melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko (tidak memakai kondom) dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung karena mereka tidak bisa dijangkau (Lihat Gambar).
[Baca juga: Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2015: Insiden Penularan HIV Baru Terus-menerus Terjadi]
Orang-orang yang terdeteksi HIV-positif tidak ototmatis memerlukan obat, seperti obat antiretroviral (ARV). Odha baru minum obat ARV jika hasil tes CD4 di bawah 350. Sedangkan obat untuk penyakit-penyakit infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, TB, dll. tersedia secara luas di puskesmas dan rumah sakit.
Sedangkan 'sosialiasi dan kampanye soal HIV-AIDS ke publik' ibarat menggantang asap karena sosialisasi tidak ototmatis mengubah perilaku seksual berisiko. Butuh waktu yang panjang untuk mengubah perilaku. Pada rentang waktu menerima sosialisasi dan mengubah perilaku bisa saja sudah terjadi penularan HIV/AIDS (Lihat Gambar).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H