"Sosialisasi (HIV/AIDS, pen.) itu kan tugas Kementerian Kesehatan. Kalau menurut saya gagal, karena masyarakat masih punya penolakan tinggi seperti ini (penolakan terhadap anak pengidap HIV/AIDS di sekolah-pen.)." Ini pernyataan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Bidang Pendidikan, Retno Listyarti (antaranews.com, 4/4-2019).
Pernyataan Retno tsb. sangat gegabah karena sosialisasi tidak bisa diukur dengan satu indikator. Penggambaran secara umum secara empiris pasti ada pengecualian.
Retno ibarata di 'menara gading' terkait dengan epidemi HIV/AIDS. Sejak awal epidemi, yang diakui pemerintah sejak April 1987, informasi tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang. Yang muncul kemudian adalah mitos (anggapan yang salah).
[Baca juga: Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia]
Penetapan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia salah satu awal mitos yaitu AIDS penyakit orang bule dan AIDS penyakit homoseksual. Ini tergambar dari kasus yang diakui pemerintah yaitu kematian seorang turis Belanda, seorang laki-laki gay, terkait AIDS.
Mitos terus berkembang karena banyak kalangan mulai dari menteri, tokoh masyarakat, tokoh agama bahkan tenaga medis yang selalu mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan moral. Disebutkan HIV/AIDS menular melalui zina, seks pranikah, seks dengan PSK, homoseksuao, dst. Ini jelas mitos karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali seks. Ini fakta.
Disebutkan dalam berita: KPAI menyatakan kasus penolakan 12 Anak dengan HIV (ADHA) oleh orangtua murid di Solo beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS masih rendah.
Jangankan orang tua murid sebagai masyarakat biasa, di fasilitas kesehatan pun tenaga medis yang memahami HIV/AIDS secara benar tetap saja terjadi penolakan. Apakah KPAI tidak melihat realitas sosial ini?
Dikatakan lagi oleh Retno: Kementerian Kesehatan  bisa melaksanakan kegiatan sosialisasi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Yang terjadi adalah sosialisasi yang menyuburkan mitos. Lihat saja Kementerian Sosial yang membangun tiga Panti Odha (nu.or.id, 5/12-2017). Disebutkan panti ODHA untuk memberikan layanan rehabilitasi sosial orang dengan HIV/AIDS (ODHA) menyusul semakin mengkhawatirkannya tingkat penyebaran virus HIV/AIDS di Indonesia. Ini jelas menyuburkan stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena Odha tidak perlu direhabilitasi karena tidak ada gejala pada fisik dan keluhan kesehatan terkait AIDS.
Kementerian Agama jelas akan memakai agama sehingga menyuburkan mitos lagi karena informasi akan dikaitkan dengan perilaku nonagamis. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara perilaku beragama dengan penularan HIV/AIDS.